Kamar D 167. Ruangan persegi empat dengan luas sekitar 5×5 meter yang telah di desain seminimalis mungkin untuk dijadikan tempat tidur.
Ada dua ranjang. Karena jumlah pendaftar cenderung kecil, sekolah menempatkan dua anak perkamar.
Selain ranjang, disisi kiri ruangan terdapat lemari berdaun dua yang separuhnya telah penuh oleh macam-macam sandang.
Oke, Misha menyimpulkan jika dia tidak akan tidur sendiri.
Sementara nakas dan meja belajar berada dekat dengan pintu keluar. Hanya itu, tak ada meja rias. Menyebab Misha terpaksa meletakkan alat make-upnya di dalam laci nakas.
Tepat kala jam berdenting terdengar dari kejauhan, Misha selesai menata seluruh isi koper ke tempatnya. Dan suara ketukan sepatu menimpa lantai samar-samar mulai mendekat diiringi celotehan senang para penghuni asrama lain.
Misha menyimpan beragam perwarna bibir ke dalam laci saat pintu kamarnya terdorong ke dalam. Seperti deja vu. Bedanya, sekarang Misha yang berposisi sebagai penghuni kamar.
"Um .. anak baru ya?"
Anggukan Misha berikan. Lantas berdiri dan berjalan mendekat pada perempuan yang masih setia berada diambang pintu.
"Misha, temen sekamar lo. Nggak keberatan kan?"
Tangan kembali diulurkan, jabat tangan terjadi. Seulas senyum diterima baik oleh Misha.
"Aliana. Panggil aja Lia."
◦ ࿏ ◦
Makan malam bersama rutin dilakukan pada jam tujuh hingga delapan malam. Bila datang lebih dari pukul delapan maka tidak akan ada makan malam.
Karena kebijakan itulah para siswa maupun siswi senantiasa hadir di kantin tepat waktu. Cara sekolah mendisiplinkan mereka dalam hal ini cukup berhasil.
Berhubung Misha ialah orang baru, sosoknya hanya mengikuti kemana langkah Lia sedari keluar dari gedung asrama tadi.
Sesi saling mengenal antara dua perempuan berbeda style rambut itu telah selesai sejak sore.
Area kantin sekolah ini memang tidak seluas di Merpati Dua, namun mampu menampung keseluruhan siswa yang jumlahnya ratusan. Dan setelah Lia menyeretnya ke salah satu bangku diantara lautan manusia, barulah Misha mengetahui sesuatu.
Lia berteman dengan Aksa.
◦ ࿏ ◦
"Pesona anak kota emang beda ya. Lo cantik dan keliatan bersinar, beda sama orang kampung kayak gue."
Celetukan itu keluar dari mulut perempuan yang duduk di seberang Misha. Rambutnya dikuncir kuda, pipinya tembam dan bulu matanya lentik. Terlihat manis dalam pandangan Misha.
Namanya Ajeng. Perempuan yang bertempat tinggal di pemukiman dekat sekolah ini.
"Gue sempet ngerasa insecure waktu pertama lihat lo tadi."
Lalu yang terakhir adalah Allen. Parasnya rupawan dengan potongan rambut curtain comma. Kulitnya putih pucat. Popularitasnya tinggi. Seorang kapten basket yang bulan ini vakum dari awal hingga sekarang.
Tiga orang itu teman dekat Lia. Secara otomatis, mereka mungkin akan menjadi teman Misha juga bila mengingat peluang bertemu setiap saat mencapai angka sembilan puluh persen.
"Gue boleh tahu alasan lo pindah? Sorry kalau terkesan kepo." Ajeng berhenti mengaduk kari ayam, beralih menempatkan atensi pada perempuan di seberang.
Misha mengangkat bahu sekilas. "Nyokap maksa dan bokap ngedukung, gue nggak tahu mana profokatornya. Waktu gue tanya apa tujuannya mereka cuman jawab ini hukuman karena gue sering clubbing."
Keempat teman baru Misha tersentak bersamaan. Refleks mengangkat kepala untuk menatap sang gadis kota.
"Eh serius? Padahal lo nggak kelihatan nakal." Aksa melempar tatap tak percaya.
"Jangan lihat buku dari sampulnya."
Lia terkekeh kecil seraya mengunyah olahan ayam yang menjadi menu malam ini.
"Clubbing itu enak .. nggak? Gue denger-denger dari gosipan kelas sebelah kalau usia minimal masuk kesana sembilan belas dan lo?" Pertanyaan Ajeng menjadi alasan Misha tertawa hingga lesung di kedua sisi bibirnya tercetak jelas.
"Happy sih. Lo bebas ngelakuin apa aja disana. Kalau lagi stress bisa jadi obat penenang. Dan buat anak modelan gue di sana, kita cetak ktp palsu dan bodohnya penjaga disana percaya."
Keempatnya mengangguk, sebuah refleksi. Lalu tak ada sahutan lagi. Membiarkan keheningan meliputi mereka meski kantin malam ini benar-benar berisik seperti hari-hari sebelumnya.
Ajeng yang pertama selesai menyantap makan malam. Meraih gelas berisi cairan bening, ia teguk hanya dalam lima detik untuk menghabiskan keseluruhan.
"Akhirnya kenyang. Yakin deh nanti malem nggak bakal kebangun tengah malam lagi."
Seakan otaknya baru tersinkron, Aksa yang semula fokus membaca berita melalui ponsel langsung menaruh benda itu diatas meja dan mengarahkan atensi pada si anak baru.
"Sha."
Misha menoleh, "hm?"
"Mungkin kepala sekolah lupa sama hal ini tapi lo harus tahu kalau masih ada larangan yang sanksinya nggak main-main." Aksa berucap serius, tanpa keraguan. "Karena lo udah jadi bagian dari sekolah, lo perlu tahu kalau--"
Lia dan Ajeng saling menukar pandang. Misha mengerutkan dahi heran.
"--kalau keluar kamar diatas jam sebelas malam lebih beresiko daripada ngelanggar peraturan apapun."
-
-hai hai
jangan bosen ya nungguin bab selanjutnya ☺
KAMU SEDANG MEMBACA
Misha : completion ✔
Horror[end-completed] Selama hidupnya, Misha jarang bersinggungan dengan hal gaib. Secara tersirat pula Misha kurang percaya dengan keberadaan mereka. Namun pemikiran itu berubah setelah Misha memasuki lingkup Lentera Negri, sekolah modern yang letaknya d...