Misha di tempatkan di kelas XI Ipa 3, sama seperti di sekolah sebelumnya. Secara kebetulan pula, Lia dan Aksa juga berada di sana. Karena hal inilah usai Misha diperkenalkan oleh wali kelas, Lia langsung mengangkat tangan upaya mengundang Misha mendekat.
Terdapat bangku kosong di sebelah Lia, letaknya berada paling pojok dekat jendela.
"Kursinya agak rapuh soalnya belum diganti. Maklum ya?" Lia meringis kecil, merasa tak enak hati pada teman sekamarnya.
"Nggak papa kok. Nanti bisa diganti sama yang baru."
"Nanti gue bantuin ambil."
Kurva rendah terbentuk dibibir Misha. "Thanks."
Seakan memberi ruang untuk mengobrol, wali kelas langsung memulai presensi setelah percakapan antara kedua perempuan itu selesai.
"Adelia--"
"Maaf saya terlambat."
Presensi itu terhenti kala seseorang masuk ke dalam kelas dengan langkah lesu. Wajahnya muram serta rambutnya tak tertata rapi.
Shana-wali kelas XI Ipa 3-melebarkan kelopak mata melihat kehadiran salah seorang muridnya.
"Yumna? K-kamu baru datang?"
Jelas sekali bias terkejut tercetak di wajah Bu Shana. Menyebab Misha mengerutkan bibir. Apakah ini hal langka disini?
Perempuan itu bernama Yumna. Salah satu dari sepuluh murid terpintar seangkatan. Senantiasa terlihat rapi kemanapun kakinya pergi namun sekarang ia kacau.
"Saya mengalami gangguan tadi malam. Maaf jika saya mengecewakan Ibu." Suaranya halus menyapa telinga Shana yang masih membeku ditempat.
"Bu?"
"Ibu kenapa?"
"Bu Shana?"
Sang wali kelas mengerjap pelan, membalas tatapan Aksa yang baru memanggilnya dari lamunan.
"Yumna ..." Shana membuka bibir, suaranya serak.
"Ya Bu?"
"Sebelum ke ruang guru, saya datang ke kelas untuk mengecek kebersihan kelas d-dan saya--"
"Kenapa Bu?" Yumna menukik alis.
"--melihat kamu sudah duduk di bangku kamu .. sendirian."
Saat itulah satu kelas refleks menahan nafas secara bersamaan. Terkecuali Misha, tentu saja.
◦ ࿏ ◦
Rasanya tidak menyenangkan. Hari kedua di Lentera Negri berjalan begitu saja. Tidak ada ocehan Calista, sodoran bunga Ethan, kafe bernuansa klasik dengan musik jazz-nya serta gemerlap lampu diskotik yang mampu menenangkan pikiran.
Jujur saja, Misha mulai merindukan itu semua. Berusaha untuk melupakan kehidupan remaja impiannya jelas merupakan hal yang sulit. Tak akan semudah Mama menitah Misha untuk datang kesini atau seringan Aksa mengulurkan tangan padanya.
Misha menghela nafas, mengosongkan rongga dada sejenak.
"Homesick?"
Tanpa Misha dengar suara langkahnya, Aksa telah berdiri di sebelahnya. Turut memperhatikan pemandangan sekitar sekolah melalui bingkai jendela lantai tiga.
"Wajar, kan? Dari kecil gue nempel terus sama Mama Papa dan sekarang tanpa persiapan apapun gue harus pergi jauh dari mereka."
Warna hijau mendominasi penglihatan Aksa. Bibirnya ditarik ke atas. "Gue nggak tau rasanya."
"Hm?"
"Rasa sayang dari orang tua. Sejak umur dua tahun, yang ngerawat gue Nenek. Dia yang besarin gue, berusaha ngasih gue apa aja yang gue pengen. Dia pusat kehidupan gue."
Si perempuan mengangguk singkat. "Lo pasti sayang banget sama nenek lo."
"Ya. Rasa sayang itu bikin gue berambisi cepet lulus dari sini. Gue pengen langsung kerja dan bahagiain Nenek selama sisa hidupnya."
"Nggak ada keinginan buat kuliah?"
"Nope. Nenek gue udah tua dan Kakek meninggal udah lama, menurut lo siapa yang mau bayarin kuliah gue?"
"Orang tua lo?"
"Meninggal."
Detik itu juga Misha tertegun. Merasa tak seharusnya obrolan itu merambat ke hal ini.
"Maaf."
"Bukan masalah."
Lalu keduanya sama-sama terdiam. Membiarkan angin sejuk menelusup ke pori-pori wajah. Mereka menikmatinya.
Entah karena spontanitas atau insting, Misha menoleh ke arah kanan saat dirasa seseorang mengawasinya dari kejauhan. Namun entitas itu tak tertangkap ekor mata Misha. Seakan tak pernah ada.
"Kenapa?" Aksa menyadarinya.
"Kayak ada yang ngeliatin tapi nggak tau siapa."
Misha merespon cuek, berbeda dengan Aksa yang justru melirik ke sekitar. Mencoba mencari seseorang atau sesuatu itu.
Nihil. Tak ada yang mencurigakan. Para murid berlalu lalang sedemikian rupa.
"Hati-hati aja. Karena sekolah ini nggak se-normal Merpati Dua."
Alis sang gadis menukik. "Maksud lo?"
"Nanti gue ceritain. Yang pasti nggak di sini."
Apapun itu, yang akan diceritakan oleh Aksa, Misha rasa bukanlah sesuatu yang baik.
-
-satu kata untuk hari ini? :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Misha : completion ✔
Horror[end-completed] Selama hidupnya, Misha jarang bersinggungan dengan hal gaib. Secara tersirat pula Misha kurang percaya dengan keberadaan mereka. Namun pemikiran itu berubah setelah Misha memasuki lingkup Lentera Negri, sekolah modern yang letaknya d...