"Gue kaget ya bangsat! Pulang dari Singapura beli banyak oleh-oleh, lonya malah nggak ada. Gue temen lo bukan sih?!"
Kekehan ringan mengudara. Calista semakin sebal melihat sahabatnya malah menarik kedua sudut bibir. Sekarang kedua sahabat itu tengah melepas rindu melalui video call.
"Sorry deh. Ini juga mendadak, bahkan tanpa persiapan. Nyokap yang maksa."
Di seberang, Calista mengerucutkan bibir. "Jahat sih Tante Rania tapi lo tau alasannya nggak?"
Spontan Misha menggeleng. "Mama nggak kasih tahu alasan kompleksnya. Dia cuman bilang ini hukuman buat gue karena suka clubbing."
"Hahaha ketahuan kan! Makanya kalau gue bilang tuh didengerin, bukannya dicuekin. Sukurin!"
Misha mencebik.
"Eh disana gimana? Kerasan nggak lo? Udah punya temen kan?"
"Ya biasa aja. Lumayan enak kok, adem tiap harinya. Lo harus bangga karena gue udah punya geng."
Calista tertawa setelah Misha tersenyum bangga.
"Iya deh percayaaaa--eh itu temen lo ya?"
Keningnya mengerut disertai gerakan kepala memutar ke belakang, menangkap seorang laki-laki berjalan mendekat padanya.
"Ta, lanjut nanti ya?"
"Yahhh pacarannya nanti aja! Gue masih kangen lo tahu."
"Mulutnya dijaga. Pokoknya nanti gue telfon lagi, bye!"
Panggilan diputuskan sepihak. Misha menyimpan ponsel disaku seraya menoleh ke sebelah, tepatnya pada laki-laki yang berdiri disana.
"Lo .. yang kemarin kan?"
Masih terekam jelas dalam benak Misha bagaimana ia menubruk dada beraroma mint itu. Lalu kalimat dinginnya yang terkesan tidak peduli.
Sore ini, di dekat pagar pembatas atap sekolah, Misha tak melihat tatapan sedingin es atau aroma segar itu lagi. Yang terpancar hanyalah sorot datar serta wangi musk bercampur keringat.
"Basa-basi lo nggak guna."
Misha reflek mendengus. Kembali menumpu lengan diatas teralis seraya memandang jauh ke depan. Membiarkan semilir angin menerbangkan helai yang mencuat keluar dari ikatan.
"Kemarin sore gue cukup yakin kalau nggak ada kegiatan lagi di sekolah, buat apa lo malah masuk kesana?"
Pertanyaan itu keluar tanpa dapat dicegah setelah beberapa detik tertahan diujung lidah. Misha merutuk dalam hati.
"Bukan urusan lo. Kita nggak seakrab itu buat sekedar nanyain kegiatan masing-masing."
Menyebalkan. Kalimatnya seakan memperjelas jika ia tak mudah untuk didekati.
"Hm, sorry."
Kemudian perempuan yang rambutnya diikat ponytail itu menjauh dari teralis. Hendak mematri langkah menuju pintu keluar saat bias rendah itu kembali terdengar.
"Jangan ikut campur."
Itu jelas sebuah ancaman.
"Lo cuman anak baru disini."
Yang berhasil menggetarkan hati Misha.
"Bukan urusan lo."
Si laki-laki tertegun. Tanpa diketahui, lawan bicaranya mengukir seringai kecil.
"Telinga lo ada banyak, ya? Apa salah satunya dari setan itu?"
Angin berhembus kencang. Mengayunkan ujung rambut serta rok sang gadis.
"Lo tenang aja. Gue bakal bertindak setenang mungkin--kalau emang itu yang bikin lo pesimis sama aksi gue."
Lalu kaki itu kembali melangkah meninggalkan atap sekolah. Meninggalkan laki-laki yang entah bernama siapa dalam keterdiaman.
◦ ࿏ ◦
Sementara Misha dalam perjalanan menuruni titian, Ajeng dan Lia telah ngalor-ngidul hampir setengah jam. Mereka mencari informasi dari seluruh korban teror yang sekiranya berguna.
Dan bila ingin mengetahui kasus itu secara jelas, maka mengajak anak kelas duabelas adalah keputusan yang tepat. Mereka berhasil menggeret Kaivan—mantan ketua OSIS tahun lalu.
Kaivan termasuk pribadi yang humble sehingga saat Ajeng mengajaknya untuk menanyakan beberapa hal langsung disetujui oleh mantan ketua OSIS tersebut.
Alasan itu yang menyatukan Kaivan bersama kelima adik kelasnya di bangku kantin paling pojok. Lumayan jauh dari kerumunan.
"Dia siapa?"
"Ngapain ngajak dia?"
"Caper banget sih lo berdua."
Lia tersenyum dipaksakan, merasa kesal karena pernyataan Allen barusan. "Gini ya, boy, kita bertiga punya misi yang cuku .. sinting. Kita mau ungkap tujuan dia neror anak-anak selama ini dan Kak Kaivan pasti tau banyak soal ini."
"Hah?" Aksa membeo. "Lo yakin?"
"Yakin nggak yakin. Makannya lo berdua diem aja dulu, biarin Misha aja yang wawancara."
Yang disebut namanya sontak menekuk alis. "Kok gue?"
Ajeng merenges. "Gue rada nggak paham sama konteks pertanyaannya."
Dengan agak terpaksa, Misha beralih menatap Kaivan yang sedari tadi menikmati jus jeruknya tanpa membuka suara sekalipun.
"Kak, waktu lo nggak terganggu .. kan?"
Si pemilik nama lantas menggeleng. Mendorong jus jeruk menjauh lalu melipat lengan diatas meja.
"Sama sekali nggak. Topik yang mau kalian bicarain juga menarik. So, what do you want to ask?"
-
-see you next chapter <3
KAMU SEDANG MEMBACA
Misha : completion ✔
Horror[end-completed] Selama hidupnya, Misha jarang bersinggungan dengan hal gaib. Secara tersirat pula Misha kurang percaya dengan keberadaan mereka. Namun pemikiran itu berubah setelah Misha memasuki lingkup Lentera Negri, sekolah modern yang letaknya d...