06 ; incident

0 1 0
                                    

Sore itu, ruang guru di dera kecemasan setelah menerima laporan pasal alasan sebenarnya Yumna pulang ke rumah.

Kalina selaku guru Agama merasa bila hal itu tidak mungkin terjadi namun telah banyak siswa yang menjadi korban dari teror itu. Setiap tahun pula pasti akan jatuh satu korban hingga meninggal.

Salah satu guru yang pernah melihat penampakan dari pelaku teror itu adalah Shanadira, selaku wali kelas Yumna sendiri.

"Bu Shana benar-benar lihat? Ibu nggak rabun kan?"

Pertanyaan itu keluar dari si pengajar Bahasa Inggris.

"Saya sangat yakin tempo hari lalu melihat Yumna sudah ada di kelas saat pagi tapi kenyataan membuktikan kalau Yumna datang terlambat. Terus yang saya lihat itu siapa?" Shana menjelaskan secara serius dengan harapan masalah ini akan ditindaklanjuti.

"Anak murid saya juga suka ngeluh kalau malam sering denger suara orang nangis tapi pas di cek nggak ada."

"Tito jadi ngotot buat pulang setelah lihat penampakan di kamar mandi."

"Tito yang baru pindah kesini dua bulan itu ya?"

"Iya Bu."

Kalina sejak tadi bungkam, enggan memberi pendapat apa-apa. Pun, tak ada yang berkonsultasi dengannya.

"Lebih baik kita mengadakan rapat bersama kepala sekolah. Mungkin akan ada penyelesaian," tutur Shana memberi saran dan diberi anggukan spontan oleh yang lain.

◦ ࿏ ◦

Misha memacu langkah cepat melintasi lorong yang terang benderang namun hanya ada ia seorang. Jika bukan ponsel yang tertinggal, Misha ogah kembali ke kelas disaat petang.

Tap tap

Ritme jantung yang mulai normal karena telah memijak lantai satu kembali bertambah cepatnya saat mendengar suara langkah lain di belakang.

Ketukan converse putih pada lantai marmer semakin keras. Pemiliknya setengah berlari.

Tentu Misha takut. Ia sudah tahu soal teror itu dan bila harus bertemu si peneror itu sekarang--demi apapun Misha belum siap!

Genggaman pada ponselnya mengerat. Suara langkah lain itu semakin mendekat dan ..

Brukh!

.. salahkan Misha yang terlalu kencang berjalan hingga tubuhnya jatuh tersungkur saat bertubrukan.

Misha mengaduh. Pantatnya terasa sakit namun di lain sisi merasa bersyukur kala melihat sepasang kaki berbalut sneakers hitam itu menapak lantai sepenuhnya.

"Lo oke?"

Suara berbariton rendah menyapa. Kalimatnya membuat Misha bangkit seketika, menepuk belakang rok sebelum menoleh pada objek yang ia tabrak.

Aroma mint-nya masih terasa meski pagi telah beranjak malam. Kulitnya seputih awan dengan garis rahang yang tercetak jelas. Jangan lupakan monolid yang selegam gagak serta rambut two block-nya.

Satu kata. Tampan.

"Hei?"

Misha mengerjap. Berdeham sejenak guna meminimalisir degup jantung. Kendati laki-laki ini hantu, Misha siap bila harus bertemu. Sayangnya tidak begitu.

"Y-ya. Sorry, gue yang salah karena buru-buru."

Si laki-laki mengangguk, singkat. "Oke. Gue duluan."

Sebatas itu. Tak ada hal menarik lagi. Pemuda yang entah bernama siapa itu langsung beranjak pergi. Mematri langkah menuju arah yang berlawanan dengan Misha.

"Dingin banget. Bikin gue inget seseorang aja. Eh tapi ngapain dia malah masuk ke dalam? Bukannya ekskul udah selesai semua?" Rutuan pelan si gadis diiringi tubuhnya yang berbalik ke arah sebelumnya.

Detik itu juga, Misha tertegun. Jantungnya seakan berhenti saat maniknya menangkap sosok dari kejauhan, tepatnya di titian menuju lantai dua.

Sosok yang mengenakan pakaian merah dan surai sepanjang lutut. Kulitnya seakan menyatu dengan dinding di kedua sisi.

Relungnya bergetar. Saraf motoriknya langsung berkerja, membuat tungkainya bergerak cepat menjauhi area itu. Masa bodo dengan cowok tadi. Yang Misha inginkan sekarang hanyalah bertemu siapa saja. Siapa saja yang masih bernyawa.

"Mampus lo Misha!"

◦ ࿏ ◦

Pasca insiden bertemu si perempuan merah sore tadi, Misha menjadi agak .. parno. Ia menjadi pendiam dan sering melamun. Bahkan Lia tak memiliki kesempatan untuk berkomunikasi dengan gadis itu. Setidaknya hingga sesi makan malam tiba.

"Gue udah ketemu sama Dia."

Topik pembukaan yang cukup mengejutkan. Menyebab Ajeng menelan irisan daging ayam tanpa mengunyahnya terlebih dahulu. Beruntung tak ada adegan dramatis berupa tersedak.

"Beneran? Bukan halusinasikan?"

"Dimana?"

"Kok bisa?"

"Rasanya gimana?"

Misha merotasikan bola mata sebelum menjawab rentetan pertanyaan itu. "Pertama, itu bukan halusinasi, gue lihat beneran walau nggak jelas. Gue lihat di tangga deket kelas sepuluh ips. Penyebabnya gue nggak tau terus rasanya .. YA TAKUTLAH AJENG!"

Ajeng meneguk ludah melihat kilatan emosi dari mata coklat terang milik Misha. "O-oke, gue paham."

"Kok bisa sih lo lihat? Padahal gue udah lama ada disini, tapi belum pernah sekalipun lihat." Celetukan Lia sontak mengundang dengusan dari Misha.

"Kalaupun bisa, gue mau tuker posisi sama lo. Jantung gue kayak mau loncat tau nggak?!"

Lia membuang nafas panjang. "Iya sorry .. prihatin deh." Misha mendengus.

"Wujudnya gimana Sha?"

Pertanyaan Allen sontak membuat Misha mengangkat wajah, mengulum bibir sebelum menjawab.

"Ya .. cewek. Pake baju merah selutut dan rambutnya juga panjang banget. Dia .. emm nyeremin, sih. Walaupun lampu masih nyala, rasanya tetep serem. Beruntung, kita nggak eye contact."

"Tapi kok warna bajunya merah? Gue denger dari gosipan warnanya putih."

"Yaelah Li, baju setan aja lo pikirin. Kan bisa aja dia minjem temennya."

"Ngawur lo!" Allen menyangkal.

"Hehe." Ajeng meringis.

-
-

si merah udah muncul nih
siap-siap aja yaaaa

Misha : completion ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang