"Apa?!" Shana meninggikan vokal suaranya guna memperjelas pernyataan yang disampaikan oleh anak didiknya.
Setelah dijemput tanpa pemberitahuan, digiring menuju ruangan sepi lalu disinilah Shana, berdiri dihadapan dua anak muridnya dalam ruang kesenian yang kebetulan sepi pengunjung.
"Kalian yakin dengan apa yang kalian katakan?"
Alis Shana memicing, mencoba mencari keraguan dari air muka Misha dan Aksa namun nihil. Yang terlihat hanyalah pancaran keyakinan.
"Kami sangat yakin, Bu. Karena itu kami sangat membutuhkan bantuan Ibu. Apa Ibu nggak pengen teror ini cepat selesai?" Ucap Aksa cepat.
Shana terdiam sepersekian detik sebelum menghela nafas berat dan menggeleng pelan.
"Kalian benar-benar .. nekat."
"Kami terpaksa, Bu."
Sekali lagi Shana menghela berat. "Bantuan seperti apa yang kalian butuhkan?"
"Data pengeluaran pribadi kepala sekolah selama bulan Januari sampai Febuari tahun 2018. Kami membutuhkannya untuk menyelesaikan kasus Kak Nadila, Bu."
Shana menyanggupi permintaan Misha. Serta merta memegang pundak kedua anak muridnya. Memberi senyuman hangat.
"Ibu percaya sama kalian. Jangan sampai salah langkah, ya?"
.
Karena sesi negosiasi dengan Shana telah mendapat kesepakatan yang diinginkan, kini mereka hanya perlu menunggu. Yang jelas mereka memiliki waktu luang sekarang.
"Sebulan lagi uts, kalian udah siapin apa aja?" Tanya Ajeng setelah mengecek pesan yang dikirim oleh guru kesiswaan di kelas.
"Siapin mental."
"Ck serius!"
Aksa mendengus. "Gue serius. Kita butuh mental yang kuat buat ngerjain soal-soal itu. Saingan sama orang-orang licik juga."
"Ah iya! Gue beda ruang sama Yumna! Holy shit! Nggak bisa nyontek dong."
Rutukan itu spontan mendapat hadiah berupa toyoran di kepala oleh Lia. "Belajar dong. Jangan nyontek doang bisanya. Katanya pengen masuk UI."
"Nggak jadi. Gue mau kerja aja."
Misha mengangkat alis. Menggulir netra ke arah Ajeng. "Lo beneran mau kuliah di UI?"
"Dulu, sekarang udah nggak. Maybe gue bakal kerja aja. Cari duit biar bisa nikmatin hidup, HAHAHAHA!"
Aksa bergidik. "Stres ni anak."
"Lo cocok kok jadi kuli," celetuk Allen tanpa mengalihkan atensi dari ponsel.
"Kuli apaan?! Lo kata gue samson?!"
"Ngegas anjir."
"Karna lo ngeselin nyet!"
Lia menepuk jidat melihat perdebatan kedua remaja itu. Kemudian getar pada ponsel menarik perhatiannya.
"What the fuck?!"
Umpatan spontan Lia membuat keempat orang lainnya menoleh, memandangnya dengan heran.
"Guys," Lia menatap figur wajah temannya satu-persatu. Meneguk ludah sebelum berucap, "kita dapat panggilan dari Pak Abim."
◦ ࿏ ◦
Nyatanya masa rehat itu tidak ada sebab mereka harus menghadap guru konseling hari itu juga.
Ini kali pertama Misha memijak ruang bimbingan konseling. Ruangan persegi empat yang terlihat monoton dengan sepasang meja kursi, lemari setinggi lima meter serta sepasang sofa disudut ruangan. Hanya itu.
Misha bersama yang lain digiring untuk berdiri menghadap Abimanyu Abyasa. Bibir mereka berlima kompak terkatup rapat.
"Kalian tahu kesalahan apa yang diperbuat?"
Suara Abim memecah keheningan. Namun bocah-bocah itu tetap bungkam.
"Dimana telinga kalian saat saya memperingatkan untuk tidak memasuki ruangan itu tanpa ijin? Ingin menjadi anak nakal?"
Tak ada jawaban. Mereka membiarkan pertanyaan guru konseling itu menggantung di udara.
"Sekolah tidak pernah membina kalian untuk menjadi pembangkang. Sekolah juga tidak pernah mengajari kalian untuk menjadi pencuri. Kenapa kalian melakukannya?" Tanya Abim tegas dengan sorot intimidasi yang begitu kentara.
"Lalu mengapa sekolah membeli keadilan?" Sekian menit terdiam, akhirnya Aksa membuka kedua belah bibir.
Alis Abim terangkat. "Membeli keadilan seperti apa yang kamu maksud?"
"Ayolah .. bapak nggak usah sok bingung. Kami tahu bapak juga terlibat. Iya, 'kan?" Ajeng turut bersuara.
Seakan mendapat serangan balik dari anak didiknya, Abim lantas membuka buku yang berupa daftar nama siswa kelas sebelas.
"Kalian berlima akan mendapat poin merah. Jika mencapai 100 poin maka orang tua kalian akan dipanggil dan jika bertambah maka surat drop out akan dikeluarkan."
Misha meremat samping roknya. Menggigit bibir dalam, menahan kesal pada guru konseling yang seharusnya mendukung aksi mereka.
"Saya nggak paham." Lirih namun seisi ruangan mampu mendengar. "Kenapa bapak justru tutup mata dan telinga sama hal ini. Apa karena bapak dapat komisi--"
Plakk!
Misha berjengit kecil sewaktu Abim menaruh buku daftar itu dengan kasar.
"Saya disini hanya ingin memberi kalian peringatan sebelum beliau yang bertindak langsung menangani kalian."
Tentu mereka mampu menangkap isi tersirat dari kalimat Abim. Terlebih, mereka telah memiliki dugaan tentang siapa yang menjadi peran utama dalam kasus ini.
"Kalian boleh pergi sekarang."
.
"Jelas banget kalau Pak Abim berusaha ngelindungin kepala sekolah! Sok-sokan nggak tau padahal jadi pelaku."
Gerutuan Ajeng mengisi perjalanan melintasi koridor terbuka yang lengang.
"Kan dapet komisi, pasti dilindungi dong."
"Gue tahu, Lia. Gue cuman kesel."
Aksa tiba-tiba berhenti melangkah, berbalik badan ke arah teman-teman perempuannya.
"Sekarang mikir, kepala sekolah bakal apain kita kalau misal tahu perkara ini," tanyanya.
"Mungkin di do?"
"Atau diancem nggak bakal lulus."
"Kalau sampai dibungkam buat selamanya .. gimana?"
Pernyataan Misha mendebarkan jantung mereka. Itu mengerikan. Mereka tak berani membayangkan.
-
-Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Misha : completion ✔
Horror[end-completed] Selama hidupnya, Misha jarang bersinggungan dengan hal gaib. Secara tersirat pula Misha kurang percaya dengan keberadaan mereka. Namun pemikiran itu berubah setelah Misha memasuki lingkup Lentera Negri, sekolah modern yang letaknya d...