11 ; identity

0 1 0
                                    

Malam baru tiba namun suasana teramat hening karena seluruh siswa tengah makan malam bersama di kantin. Hanya tersisa Sean seorang di asrama.

Pemuda itu tengah belajar guna seleksi besok pagi. Diatas meja belajarnya sudah tersedia lima roti kemasan serta susu kotak rasa coklat.

Sean akui ia masih butuh banyak belajar. Jika bukan sang ayah yang memaksa untuk mengikuti Olimpiade ini maka Sean tidak akan mau.

Sean akui juga bila Yumna lebih berhak mengikuti Olimpiade alih-alih dirinya yang tak memiliki persiapan sejak lama. Lagi-lagi Arseno Nathaniel yang mendorong semangat juang Sean untuk mengikuti Olimpiade.

Fyuhhh

Gerakan tangan Sean diatas buku terhenti. Merasakan sapuan angin dingin ditengkuk, Sean lantas mengusapnya.

Tap tap tap

Suara langkah itu begitu lirih namun Sean yakin sosoknya ada di balik dinding kamar. Melintasi lorong kamarnya. Dan Sean tahu siapa itu.

Tok tok tok

Ritme jantung Sean mulai bertambah. Darahnya berdesir mengetahui sosok yang ada di balik pintu. Lengannya terulur meraih sesuatu di dalam laci kemudian menaruhnya diatas meja.

Itu berupa jimat pemberian Arseno. Dan berkat jimat itu, sosok Nadila tak pernah menampakkan diri dihadapan Sean.

Tap tap tap

Suara langkah itu belum juga pergi karena malam ini, Nadila tak akan membiarkan Sean tidur dengan tenang.

"Sean ..."

"Sean .. main yuk."

"Kamu sembunyi aku yang cari."

"Hihihi~"

Jejemari Sean mengepal. Merasakan udara semakin mendingin. Ia mencoba bertahan, berpegang teguh pada jimat pemberian sang ayah. Dengan harapan, sang ayah akan melindunginya malam ini.

Blakk!

Jendela dibelakang Sean menjeblak terbuka. Membuat pemuda itu seketika berbalik, memandang gorden yang terbang tertiup angin dan--

--gorden itu terpisah menjadi dua hingga Sean dapat melihat sosok Nadila melayang. Kaki pucatnya terlihat jelas dan wajahnya keriput. Cairan merah pekat mengalir dari kedua bola matanya yang menghitam.

"Sean ..."

Sean meraih jimatnya. Berusaha untuk melawan sosok itu meski hatinya terasa bergetar.

"Pergi, makhluk sialan!"

"Hihihi~"

Sosok itu semakin mendekat. Berusaha masuk melalui jendela. Sean semakin dibuat ketakutan.

Cklekk

"PERGI SIALAN!"

Lengkingan panjang terdengar tepat setelah Abim masuk dan melempar serbuk putih ke arah jendela. Sosok itu menghilang perlahan.

Abim mendekat pada Sean, memegang pundaknya upaya menenangkan. Abim tahu mental Sean terguncang saat ini.

"Kamu yang tenang, jangan takut, lawan kalau dia datang lagi." Abim memberi nasihat.

"Y-ya."

"Ayo, saya antar ke kantin. Untuk malam ini jangan sendirian."

◦ ࿏ ◦

Untuk yang ke sekian kalinya, Misha menoleh ke arah sekitar. Pandangan menusuk itu masih ia rasakan sejak tibanya di kantin sepuluh menit lalu.

Mangkuk yang semula dipadati oleh kari ayam kini hanya tersisa kuah. Menandakan Misha telah selesai dengan urusan perutnya.

Misha : completion ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang