13 ; solution

0 0 0
                                    

Rasa-rasanya Sandra ingin menonjok wajah-wajah menyebalkan yang bertandang ke rumah hanya untuk menyampaikan surat penangkapan pada sang suami.

Gedung kepolisian telah dikerubungi reporter saat Sandra tiba. Beruntung, pakaian kasual, kacamata serta masker hitam mampu menyamarkan sosoknya yang dikenal sebagai istri Anggara Prawira.

Selama mematri langkah menuju pintu masuk gedung pun tak ada yang mencegah Sandra. Kecuali seorang polisi wanita yang tentu tak mengizinkan warga sipil masuk.

Namun Sandra mampu mengelabuhi hingga sekarang ia telah berada dalam gedung. Tanpa dikomando, langkahnya langsung terpacu pada satu tempat yang berkemungkinan menjadi tempat Anggara berada saat ini.

"Pak Anggara, sesuai ketentuan yang berlaku, anda akan dikenakan Pasal 374 KUHP dan wajib membayar biaya ganti rugi sebesar satu milyar."

Jejemari Sandra mengepal. Langkah berdentumnya membuat beberapa pria dalam ruangan mengangkat kepala.

"Sandra?" Anggara yang pertama menyadari.

"Mohon maaf. Kami sedang melakukan rapat penting. Dengan sangat kami meminta anda untuk meninggalkan ruangan." Seorang polisi di dekat pintu mengulurkan lengan, mempersilahkan Sandra keluar.

"Saya hanya ingin menyampaikan kalau pengacara suami saya dalam perjalanan. Saya ingin diadakan pertemuan dengan pihak yang dirugikan juga. Anda memahami maksud saya kan, Pak Polisi?"

Anggara bungkam, sepenuhnya membiarkan sang istri berbicara. Sementara polisi yang merasa terintimidasi lantas mengangguk singkat.

"Baik. Saya akan menghubungi penggugat sesegera mungkin. Diperkirakan, pertemuan akan dilaksanakan petang nanti."

Sandra tersenyum simpul. "Ya. Saya akan memastikan nama suami saya bersih diberbagai media."

Lantas, wanita berkacamata gelap itu berbalik. Meninggalkan pelantara gedung kepolisian untuk menjumpai sumber masalah.

Sandra tak akan membiarkan suaminya mendekam lama di lapas. Ia mampu bergerak seorang diri.

Menghampiri mobil yang terparkir di sisi kanan gedung, Sandra mengedarkan pandang ke sekitar, menangkap gerombolan anak sekolah yang tengah berceloteh.

Wanita itu kemudian tersenyum, kecil. "Mama nggak tahu gimana situasi di Merpati Dua. Tapi Mama bersyukur kamu udah pergi darisana. Telinga kamu sensitif, Misha. Kalau mendengar gunjingan karena hal ini, Mama tahu kamu bakal sakit hati."

◦ ࿏ ◦

Mama
Jangan khawatir
Sekolah aja yang rajin
Mama jamin papa bakal bebas secepatnya
15.45

Terasa melegakan. Beban dalam pikiran seakan terangkat seluruhnya. Menyebab Misha menghela nafas sepanjang mungkin.

Misha selalu percaya pada Mama. Karena Mama selalu memenuhi perkataan yang diucapkannya. Mama tak pernah ingkar.

Bersama semilir angin kala senja, Misha menyaksikan sang surya yang kembali ke peraduan. Membias langit menjadi warna jingga dengan gradasi ungu diujung.

Namun detik-detik menenangkan itu sirna saat ekor mata Misha menangkap pergerakan janggal dari sisi kiri rooftop. Sepuluh meter dari tempat Misha berdiri.

Kelopak Misha membulat sempurna melihat posisi murid berseragam itu. Tanpa berpikir ulang, Misha berlari kesana, menarik pinggang murid itu hingga keduanya menghantam lantai.

"Lo gila?!" Sentak Misha setelah bangkit duduk. Menahan nyeri di sekujur punggung.

Sementara murid yang Misha selamatkan dari maut terdiam dengan tatapan .. kosong. Misha baru menyadari bila wajahnya pucat tanpa semangat hidup.

"Hei! Lo .. oke?" Misha memastikan seraya memegang bahu perempuan itu.

"Gue takut .. Gue nggak mau lihat dia lagi." Vokalnya rendah nyaris bisikan. "Dan nyokap dateng, ngajak gue buat pergi bareng. Tapi sekarang nyokap ninggalin gue. Bikin gue terjebak sama setan itu lagi!"

Terhenyak selama beberapa detik sebelum akhirnya mampu memetik kesimpulan, Misha lanjut berucap, "nyokap lo udah meninggal. Stop mikir kalau nyokap jemput lo karena itu bukan dia. Nyokap lo nggak mungkin ngajak lo mati."

Perempuan itu tertegun. Lantas memusatkan atensi pada Misha, memandang dengan sorot putus asa.

"Terus gue harus gimana? Dia .. neror gue terus. Gue takut ..."

Misha dapat menangkap ketakutan itu namun tak ada yang bisa ia lakukan untuk menenangkan karena,

"Lawan rasa takut lo. Usahain kemana-mana bareng sama temen lo, jangan sendirian. Dan kalau itu belum cukup, berdo'a sama Tuhan lo. Karena hanya Dia sumber dari segala pertolongan."

Lengkungan tinggi timbul dibibir Misha. "Jangan takut. Lo harus ngelawan, oke?"

Nyatanya kata-kata itu hanya omong kosong karena Misha sendiri merasa lebih baik terluka secara fisik alih-alih bertemu sosok Nadila.

"Lo paham maksud gue, kan?" Namun biarlah Misha mengkhianati ucapannya. Karena fokusnya sekarang adalah perempuan ini.

"Y-ya. Gue bakal berusaha."

Kedua remaja itu bangkit. Menepuk belakang rok masing-masing yang ditempeli debu.

"Thanks, ya. Berkat lo gue punya semangat hidup lagi walaupun sedikit."

Misha memberi anggukan. "Lo harus hidup. Karena nggak elite kalau mati karena orang mati."

"Hah?" Si lawan bicara bingung.

"Lupain. Intinya lawan rasa takut lo dan fokus buat bertahan."

"Kedengarannya mudah tapi sebenarnya sulit. Haha."

Misha hanya tertawa dengan canggung.

-
-

Tbc

Misha : completion ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang