20 ; welcome

0 1 0
                                    

Langit gelap sejak pagi. Awan mendung menggelayuti. Asap pembakaran membumbung tinggi. Udara turut mengikuti suasana, dinginnya menusuk kulit.

Uap putih samar keluar dari mulut Misha saat ia bernapas. Sangking dinginnya kondisi dalam ruang laboratorium komputer. Air conditioner yang tetap menyala membuat seisi ruangan menggigil.

"Gila dingin banget! Bisa kena hipotermia gue kayaknya." Lia meniup kedua telapak yang teramat kering.

"Lagian ngotot banget ac-nya dinyalain aja, sukurin deh, kedingan kan?" Sinis Aksa merasa kesal karena kalah suara tadi--saat keputusan ac menyala atau tidak dirundingkan.

"Tapi enak kan, seger udaranya?!" Lia menyentak, dibalas dengusan oleh Aksa.

"Sha, soal itu menurut lo gimana? Lo percaya sama omongan Pak Arseno?" Tanya Aksa menghentikan cuitan Lia.

Gadis itu mendecak pelan lalu berkata, "kan gue udah bilang kalau Pak Arseno nggak mungkin bohong, Aksa."

"Ya terus siapa pelaku sebenarnya, Li, kalau bukan Pak Arseno? Apa mungkin ada orang lain yang ..."

Misha menghentikan gerakan jemari diatas papan ketik komputer, lantas menoleh ke arah Lia.

"Temenin yuk, ke toilet."

.

Bulu halus yang tumbuh dilengan Misha seketika berdiri saat air mengalir menyapa punggung tangan. Misha membasuh kedua wajah sekaligus berkumur. Mengabaikan gurat cemas di wajah Lia yang menunggu di dekat pintu masuk.

"Sha cepetan ih! Betah banget disini," ceplos perempuan berambut sebahu itu.

"Hm."

Misha memoles tisu ke wajah guna menghilangkan bintik air yang tersisa. Kemudian menghampiri Lia, tanpa basa-basi langsung meninggalkan kamar mandi.

Keduanya melangkah sejajar di koridor tertutup dengan pencahayaan terganggu. Bohlam yang biasa memancarkan sinar terang kini berkedip setiap beberapa detik sekali--yang mana membuat Lia menambah laju langkah.

"Santai aja kali." Misha memprotes karena harus mengejar.

"Nggak, nggak bisa! Gue nggak siap buat ketemu dia!"

Misha hanya terkekeh kecil.

"Misha!"

Sang pemilik nama langsung berhenti. Menoleh ke arah datangnya suara. Melihat seorang wanita dewasa berjalan cepat sembari menenteng sebuah map coklat. Itu Shana.

"Ibu cari kamu loh, di ruang lab nggak ada taunya disini."

"Maaf bu, kenapa ya?"

Shana menepuk jidat pelan. "Kan kamu sendiri yang minta ibu buat ambil data korupsi kepala sekolah tiga tahun lalu."

"Eh tapi kami--"

Misha memotong cepat ucapan Lia, "makasih bu." Sambil tersenyum, ia menerima sodoran map dari Shana.

Meski masih penasaran dengan kalimat Lia selanjutnya, Shana tetap mengangguk. Balas memberi senyum pada perempuan itu.

"Gimana kasusnya?"

"Aman bu. Rencananya hari ini semua bakal saya ungkap."

Shana menurunkan alis, menatap cemas. "Kamu yakin, kan? Yang kamu lawan itu ..."

"Saya yakin bu."

Dan begitulah basa-basi itu selesai. Shana kembali ke ruang guru, meninggalkan Misha dan Lia.

"Ngapain minta lagi? Kan kita udah punya," tanya Lia terheran.

"Karena gue butuh ini untuk mastiin sesuatu."

"Sesuatu apa?"

Misha hanya tersenyum penuh arti.

◦ ࿏ ◦

Bias ungu yang terlihat di ufuk barat menandakan bahwa malam akan tiba sebentar lagi. Jalanan kota yang padat seakan menunda kepulangan Sean yang ingin segera sampai di asrama. Mengistirahatkan tubuh lelah dan letihnya.

"Pak, ada jalur alternatif lain nggak?" Tanya Sean pada Tian--staf yang menemaninya selama seleksi.

"Nggak ada Se, cuman jalan ini satu-satunya ke sekolah. Tapi nanti di pertigaan kita bisa ambil jalur kiri kalau pengen cepet sampai."

"Berapa meter lagi?"

"800 meter."

Sean menghempas punggung ke sandaran kursi. Meraih earphone wireless dari saku tas samping lalu menempatkannya di kedua telinga.

Pemuda itu pemutar kumpulan dari playlist yang kebanyakan dari band-band luar negeri.

"Bangunin ya Pak kalau udah sampai."

"Oke Se."

.

Terasa baru sebentar Sean pulas dalam lelapnya. Namun bahu yang diguncang menandakan ia harus bangun. Lantas kedua kelopaknya melebar perlahan, menyesuaikan dengan suasana sekitar.

Jalanan lengang, halte bus dalam jarak 50 meter lalu gerbang kokoh berwarna hitam pekat yang menganga lebar. Rupanya sekolah sudah ada di depan mata.

"Kamu turun disini nggak papa Se? Saya mau sekalian ganti oli di bengkel."

Sean mengangguk. "Hati-hati."

Pemuda itu membuka pintu, menenteng ransel serta ponsel keluar dari mobil. Melangkah pelan dengan sorot lelah juga gembira. Ingin sekali rasanya segera menyampaikan kabar ini kabar ini kepada Sang ayah.

Namun suara berdebum disertai cipratan cairan beraroma pekat menyurutkan niatannya. Sesuatu yang baru meluncur dari atas menghentikan langkah.

Dada bergemuruh, darah berdesir, jemari bergetar melepas ransel dari genggaman. Ini terlalu mengerikan.

Shana, dalam kondisi tempurung kepala pecah dan leher yang patah--mungkin--terlentang di hadapan Sean. Tentunya, ia sudah tak bernyawa. Serpihan kaca bening memenuhi paving sekitar, beberapa telah terkontaminasi darah Shana. Beberapa menancap di tubuh Shana--bahkan di telinga.

Lalu Sean mengangkat kepala, tertegun. Meski baru beberapa hari mengenal, Sean yakin itu bukan sorot datar yang biasa si gadis layangkan padanya.

Itu Misha, di antara bingkai jendela. Memandangnya dengan sorot asing.

-
-

Tbc

Misha : completion ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang