15 ; evidence

0 1 0
                                    

Pelajaran pada jam keempat selesai tepat satu menit lalu. Jeda sebelum guru selanjutnya masuk dimanfaatkan oleh Lia untuk menghampiri Misha yang terlihat fokus mencatat.

"Lo belum selesai nyatet?" Tanya Lia.

"Belum. Gue agak belum paham sama Technical Term ini. Lo gimana?"

Lia mengulum bibir. "Bahkan materi ini udah dua tahun gue kuasain."

"Kok bisa? Lo belajar ini dari smp?"

"Yeah, more or less."

Misha mengangguk. Lia menunggunya selesai mencatat materi. Butuh lebih dari tiga menit untuk Misha melengkapi rangkuman.

"Kenapa? Mau bahas soal dia lagi?" Tebak Misha tepat sasaran.

"Apalagi emangnya? Lo pasti udah baca pesan dari Tante Aneska. Menurut lo gimana?"

Si gadis yang rambutnya diikat ponytail itu mengerutkan bibir seraya menyalakan ponsel. Membuka file yang dikirim oleh ketua kelas, berisi ppt tugas Bahasa Indonesia.

"Menurut gue, kepala sekolah emang pantes dicurigai. Dan setelah gue perhatiin selama hampir seminggu ini, cowok-cowok disini nggak nakal banget kayak di sekolah gue sebelumnya. Jadi, Kak Nadila nggak mungkin meninggal karena dibunuh sama cowoknya."

"Anjir! Kok bisa nyampe sana mikirnya?!" Jelas Lia terkejut.

Misha malah terkekeh. "Banyak kasus kayak gitu di sekeliling gue dulu. Alasan utamanya karena pemerkosaan."

Terdengar mengerikan. Beruntung Lia belum pernah memiliki hubungan serius dengan laki-laki hingga sekarang.

"Berarti antara kepala sekolah, guru dan staf disini? Ada kemungkinan Kak Nadila bunuh diri?"

"Ada. Tapi kemungkinan dia dibunuh lebih besar."

Lia hendak berucap lagi saat suara berat Aksa menginterupsi.

"Sha."

Kedua remaja perempuan itu kompak menoleh.

"Ada yang mau ketemu."

◦ ࿏ ◦

Sembari menggenggam sebuah buku bersampul duabelas bentuk bintang zodiak dengan warna dasar hitam, Dinda mematri langkah cepat di koridor.

Sepanjang jalan sosoknya tak henti disorot oleh berbagai macam tatapan. Mencemooh, merendahkan, mengejek, permusuhan serta rasa kasihan bercampur menjadi satu.

Dinda masabodo. Selama mereka tak melakukan serangan fisik.

Tiba di kelas yang papanya bertuliskan XI Ipa 3, Dinda bersiap untuk masuk namun dahinya malah membentur sesuatu beraroma maskulin.

Perempuan dengan lingkar hitam samar dibawah mata itu lantas mendongak, bersitatap dengan obsidian legam milik Aksaranu.

"Mau apa?"

Dinda menangkap nada tak suka dari ucapan itu. Haha, wajar, kan? Selama ini Dinda selalu memandang Misha penuh kesinisan.

"Misha, apa dia ada?"

.

"Kenapa cari gue? Mau nyudutin gue lagi?"

Kalimat bernada sengak itu membuat Dinda meremat rok sampingnya.

Misha : completion ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang