09 ; a plan

1 1 0
                                    

Jika pernyataan Kaivan ditulis ulang secara ringkas maka kurang lebih seperti ini isinya.

1. Arwah perempuan itu sudah ada sejak Kaivan masuk ke Lentera Negri. Itu berarti, tiga tahun yang lalu.

2. Namanya Nadila. Nadila Putri Hanas. Seseorang yang harusnya sudah lulus dan masuk ke perguruan tinggi tahun ini. Juga, ia berasal dari keluarga yang berantakan.

3. Menurut gosip yang beredar, Nadila dikategorikan sebagai murid yang pandai dan berbakat. Namanya senantiasa tercantum di urutan kesatu peringkat paralel.

4. Satu minggu sebelum Nadila dinyatakan tak bernyawa, ia disibukkan dengan persiapan untuk mengikuti Olimpiade Sains Nasional.

5. Jenazah Nadila tidak pernah ditemukan. Ia diasumsikan tewas setelah arwahnya meneror salah seorang siswi pada masa itu.

Kira-kira seperti itu rangkuman singkat dari Kaivan. Kini Misha harus berpikir kembali soal alasan sebenarnya Nadila meneror sekolah ini.

Apakah untuk menemukan jasadnya?

Atau .. dendam? Karena Kaivan bilang, Nadila mungkin saja meninggal dalam lingkup sekolah.

Misha melingkari bagian-bagian penting pada catatannya. Bertemankan kipas portabel hello kitty yang diusung dari rumah, Misha kembali menyelami obrolan tadi.

"Dulu emang diselidiki sama polisi tapi itu cuman tiga hari. Seterusnya mereka cuman anggep Nadila kabur karena nggak siap buat ikut OSN. Nggak masuk akal kan?"

Tepatnya, sangat konyol.

"Karena hal itu, anak-anak lain ngira kalau polisi disogok sama pihak sekolah biar reputasi sekolah nggak hancur dan Shania nggak didiskualifikasi dari Olimpiade."

Misha mendengus lirih. Tak heran lagi dengan keadilan yang bisa dibeli dengan uang. Semua itu lumrah di jaman sekarang.

"Pernah juga, beberapa murid nyoba buat nyari tahu alasan Nadila dibunuh karena nggak tahan sama terornya tapi--mereka malah diskors karena lancang masuk ke ruang kepala sekolah."

Baik. Kepala sekolah. Penyelidikan soal Nadila berhenti disana. Misha akan menulis sesuatu lagi saat teriakan terdengar dari luar kamar. Bergegas ia bangkit dari kursi dan memutar knop pintu.

Tap tap tap

Bunyi ketukan sepatu saling bersahutan, mendekat ke sumber suara teriakan. Berhubung ada jeda setelah pembelajaran dan sebelum makan malam, mereka menggunakan waktu ini untuk melakukan aktivitas pribadi.

Pintu diujung lorong asrama lantai dua menjeblak terbuka. Seorang perempuan yang masih berbalut seragam batik melangkah mundur dengan wajah sepucat kapas.

"Kenapa Rin?"

"Eh suara lo ngagetin tau nggak. Awas kalau nggak penting!"

"Rin! Lo kenapa sih?"

Si perempuan, Arin, menunjuk ke dalam kamar. Beberapa orang yang berada disekitar sontak mengecek. Gurat terkejut tercetak di wajah masing-masing kala melihat apa yang ada dalam kamar.

"Kenapa sih?" Tentu Misha juga penasaran. Melalui celah yang ada kakinya merengsek maju untuk melihat kaca jendela yang dialiri cairan merah pekat. Bila dilihat lebih teliti akan ditemukan kata; slesikan.

Misha lantas mundur. Kata itu seakan mengacu pada kasus Nadila yang ingin diselesaikan secepatnya.

"Itu kamu."

Misha tersentak kecil merasakan sapuan hangat di telinganya. Kala menoleh, netranya menangkap figur seorang perempuan yang menatapnya dengan .. sinis?

Jika tidak salah namanya adalah .. Dinda.

"Maksud lo apa?" Misha mengerutkan dahi.

"Kamu penyebabnya. Seharusnya kamu nggak usah dateng, pengacau!"

Tersinggung? Ya. Namun Misha memilih untuk diam dan pergi meninggalkan kerumunan. Ia harus bertemu dengan teman-temannya guna mendiskusikan hal ini lebih lanjut.

◦ ࿏ ◦

Langit telah sepenuhnya menggelap saat Misha selesai menceritakan seluruh analisisnya soal kasus Nadila.

Perempuan itu bersama keempat temannya yang lain mengambil resiko dengan berkumpul dibelakang gedung asrama yang mana akan mudah untuk Nadila mendatangi mereka.

"Jadi, Kak Nad--"

Misha mendesis pada Ajeng. "Jangan disebut, nanti dateng."

"O-okay. Berarti dia pengen kasusnya selesai biar bisa pergi darisini?"

"Gue nggak tahu bisa pergi atau enggak setelah kasusnya selesai."

"Tapi emang harus diselesain. Gue rasa kepala sekolah juga ikut andil dalam hal ini," kata Allen seraya berdiri, mendekat pada teman-temannya.

Lia menukik alis. "Lo yakin?"

"Gue setuju sama Allen. Mungkin .. yang bungkam pihak polisi biar kasus dia ditutup itu kepala sekolah. Karena cuman kepala sekolah yang punya kuasa buat ngelakuin itu, kan?" Misha mengutarakan isi otaknya lagi.

Aksa lantas mengangguk. "Besok kita cari buku identitas siswa tiga tahun lalu."

"Gue juga bakal coba cari artikel soal kasus itu."

"Ya, walaupun cuman sebentar pasti ada di internet."

Misha mengangguk cepat. "Oke, besok kita mulai penyelidikannya."

Tanpa mereka sadari, sepasang telinga mencuri dengar dari balik dinding.

-
-

apa kabar (●’◡’●)ノ

Misha : completion ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang