Bab 1. Kacang atau Coklat?

4.7K 173 5
                                    

Hujan malam ini benar-benar menunjukkan kebolehannya. Langit mengguyur Jakarta sejak sore tadi. Entah siapa yang sedang berduka sehebat ini sampai air langit tidak berhenti berjatuhan. Bahkan bising gemuruh dan kilat cahaya petir membuat beberapa orang ketakutan dan terjaga malam ini.

Seperti seorang gadis SMA yang terbangun dari tidurnya. Sebenernya dia tidak takut akan gemuruh ataupun petir yang menyambar, tapi sudah dua minggu ini dia selalu terbangun di tengah malam karena mimpi yang menyeramkan datang berkali-kali. Nafas yang tidak beraturan menunjukkan Olla terganggu akan hadirnya mimpi itu.

Berusaha untuk duduk dan bersandar pada kepala kasur, diraihnya gelas yang ada diatas nakas samping kasurnya. "Ck" decaknya saat sadar ternyata gelas tersebut kosong. Lupa ia isi sebelum tidur semalam. 

Sambil menyibak rambutnya yang berantakan bercampur peluh, Olla perlahan turun dari kasur untuk mengambil air minum di dapur lantai satu rumahnya. Saat membuka pintu, samar-samar terdengar suara berisik dari lantai bawah. Reflek Olla melihat jam di kamarnya yang menunjukkan pukul 01.15. Paham darimana asal suara tersebut, ia lanjut menuruni tangga rumahnya.

Semalam abangnya mengatakan akan menonton bola bersama sang ayah. Sebenarnya Olla juga diajak, tapi dia menolak. Katanya dia ga ngerti masalah bola, dia lebih paham masalah oli, bensin, bengkel, otomotif, dan sebangsanya. Jadi daripada dia cuma bengong melihat kehebohan abang dan ayahnya lebih baik dia tidur di kamar yang penuh nuansa pink bercampur putih itu.

“Lho, belum tidur dek?” Tanya Kevin saat melihat Olla tiba di anak tangga terakhir rumah mereka.

“Kebangun.” Jawab Olla. “Mana sama mana sih, kok heboh banget.” Tambahnya sambil melangkahkan kaki menuju dapur untuk menghilangkan dahaganya sedari tadi.

“Madrid sama Barca nih. Eh, sekalian tolong air dong dek.” Melihat si adek menuju dapur, sekalian pikirnya.

“Tolong toples merah sekalian dong.” Ternyata sang ayah tidak mau kalah. Ikut-ikut menitip pesanan kepada anak gadis pertamanya itu.

Melirik sambil menatap sinis dua laki-laki yang bagai pinang dibelah dua di ruang tengah, dilihatnya dua laki-laki kepercayaannya itu menampilkan cengiran yang serupa. Wajah dan sifatnya benar-benar mirip.

Setelah meminum segelas air dingin dari kulkas, dibawanya kedua pesanan tersebut ke meja di ruang tengah. “Bang, besok anterin ke sekolah ya.” Pinta Olla setelah mendudukan dirinya di sofa belakang Kevin dan ayahnya menonton bola diatas karpet bulu yang tergelar.

“Besok abang gaada kelas pagi, males ah bangun pagi-pagi begitu.” Tolaknya setelah meneguk beberapa kali minuman dingin yang membasahi kerongkongannya setelah berseru heboh mendukung club favoritnya sedari tadi. Lanjut mengambil potongan kerupuk udang yang terbagi dua dari toples merah tadi.

“Yah, abang tuh. Padahal kan mobil Olla harus dibenerin gegara Abang tabrakin kemaren” Adunya kepada sang ayah yang sibuk mengunyah kerupuk udang asli Sidoarjo yang dibelinya saat kunjungan bisnis tempo hari. Oleh-oleh untuk keluarga, katanya. Karena kenyataannya yang paling banyak menghabiskan porsi kerupuk adalah beliau sendiri. Bahkan sudah hampir setengah toples.

“Lagian kamu ada-ada aja bang, nyetir mobil kok nabrak tiang listrik begitu.” Ujarnya sambil mengusap baju dan celana yang terkena reremahan kerupuk.

“Abang kan dan bilang yah, kemaren tuh ngehindarin kucing, makanya nabrak tiang.” Alasan yang sama Kevin lontarkan untuk pembelaan dirinya saat ditanya Olla kenapa pulang-pulang mobil Rocky kesayangannya sudah penyok dibagian bumper depannya.

“Alah paling abang main hape kan, ngaku aja lu.” Tuduh Olla

Merasa tidak terima atas tuduhan tak berdasar tadi, Kevin langsung membalikkan badan menghadap Olla, “Enak aja lu nuduh begitu. Tanya aja sono sama kucing yang hampir gw tabrak. Punya Pak Bejo.” Emosinya dengan logat batak yang sangat kental.

My Bad (Kacila)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang