Hancur.
Berantakan sekali rumah Jessi ini. Seakan medan perang yang menampakkan sisa-sisa peperangan sebelumnya.
Guci antik pecah berserakan, kursi yang sudah tergeser jauh dari tempat seharusnya, pigura yang memperlihatkan foto keluarga hampir terjatuh dari pengaitnya, serpihan piring-piring dan gelas-gelas kaca bercecer dimana-mana. Bahkan terlihat tetesan darah di anak tangga terakhir.
Mata Jessi menatap lurus ke arah Olla yang masih diliputi rasa terkejut luar biasa. "Mama sama Papa berantem tadi pagi." terang Jessi sebelum ditanya. Berjalan ke belakang Olla, menutup pintu tak lupa menguncinya.
"Ini udah kedua kalinya mereka berantem sehebat ini. Biasanya cuma adu mulut." lanjut Jessi berkata sambil mengajak Olla duduk di kursi ruang tengah yang masih bersih dari pecahan kaca. "Sorry ya la."
"Kok lo minta maaf sih Jes." geleng Olla. Hatinya sakit melihat kondisi Jessi saat ini. "Jangan minta maaf sama gw." tangannya pelan menghapus air mata Jessi yang mulai mengalir. Bahunya naik turun terisak hebat.
"Gw ga ngerti gw salah apa. Kenapa keluarga gw sehancur ini la. Papa sama Mama saling selingkuh satu sama lain." dengan sesenggukan Jessi mulai menceritakan beban hidupnya.
Olla masih sibuk menghapus air mata Jessi. Sesekali tangannya menepuk lembut bahu Jessi.
"Sampai akhirnya tadi mereka saling teriak. Mama minta cerai sama Papa. Papa marah banting banting barang." dada Olla semakin perih mendengarnya. Olla sungguh bingung sekarang. Apa yang harus dia lakukan untuk menenangkan sahabatnya. Tak pernah terlintas dipikirannya seorang Jessi mengalami kejadian seburuk ini dalam hidupnya.
"Gw sama kakak gw udah ga ngerti gimana caranya buat nyatuin mereka la. Mereka sibuk dengan perselingkuhannya sampai ga sadar sehancur apa gw sama kakak gw la." tangis Jessi makin pecah. Olla segera menarik Jessi dalam pelukannya, tanpa sadar air matanya ikut menetes mendengar kisah tragis itu.
"Gw capek la." adu Jessi sambil mengeratkan pelukan. Menangis hebat didalam dekapan Olla. Seakan meminta perlindungan, meminta kekuatan yang sekiranya mampu membuatnya bertahan untuk hidup.
"Lo kuat jes. Lo harus kuat." pinta Olla memaksa. "Lihat gw." dilepaskannya pelukan itu untuk melihat wajah sembab milik gadis dihadapannya.
"Lo harus kuat jes. Gw yakin lu bisa. Lo masih punya Kak Aldo, Ashel, Chika, bahkan gw Jess. Minimal lo harus bertahan untuk diri lo sendiri Jess." Olla mengatakan sambil berlinang air mata. Ditangkupnya wajah Jessi dengan kedua tangannya. Kini keduanya saling berhadapan dengan pipi yang basah dengan air mata.
"Gw ga yakin la. Gw ga yakin sama diri gw." Jessi meremas kaos Olla, mengungkapkan ketidakyakinan diri. Rendah diri dia saat ini. Merasa tidak akan bisa melewati hari-hari kedepannya dengan benar.
"Kalo lo ga yakin sama diri lo, lo harus yakin sama gw. Percaya sama gw ya." pinta Olla. Tanpa putus asa meyakinkan Jessi agar tetap baik-baik saja.
Jessi menganggukkan kepalanya, memasrahkan dirinya pada sahabat didepannya. Meyakinkan dirinya lewat keyakinan Olla.
Setidaknya saat dia tidak percaya pada dirinya. Dia percaya kepada Olla.
---
Setelah cukup menenangkan diri, mereka bangkit untuk bersiap naik ke kamar Jessi di lantai dua. "Ini.. nanti siapa yang beresin jes?" tanya Olla lirih.