𝐅𝐢𝐫𝐬𝐭 𝐖𝐢𝐟𝐞:Lelah

400 30 8
                                    

Typo tandai
_________________

Selamat membaca

____________________
.
.


Pria itu berdiri pada Koridor Rumah Sakit, masih memakai snelli nya seperti Dokter-Dokter di Rumah Sakit nya. Pemandangan yang membuat ia diam seperti ini adalah pemandangan dari sesuatu yang tak pernah ia alami.

Pemandangan seorang Ayah yang sedang menggendong putri nya yang sedang di rawat, sang putri nampak gembira dan bersemangat saat sang Ayah menggendong nya, meskipun sang putri belum sepenuhnya sembuh.

Pemandangan itu belum pernah ia rasakan, dalam hati kecil nya sebagai seorang laki-laki Almer juga ingin merasakan nya, ia ingin tahu seperti apa rasanya menggendong seorang anak. Merawat anak  jika sedang sakit dan memberinya semangat agar sembuh.

Namun, dengan cepat Almer menyadarkan pikiran nya, lagi-lagi ia harus denial jika ia tak membutuhkan seorang anak, tujuan menikah bukan hanya karena ingin punya anak, kan?.

"Bagaimana keadaan putri anda, apa sudah lebih baik?" Almer tersenyum ramah pada Ayah dan anak yang sebelumnya ia perhatikan. Ia menatap perban dan sedikit goresan di kaki anak perempuan itu yang nampaknya sudah sedikit lebih baik.

"Ah! Dokter Almer, sudah lebih baik Dok" Pria itu tersenyum, di balas juga dengan senyuman oleh Almer.

"Hanya saja Bella lebih manja saat sakit" Pria itu tertawa singkat sambil menggendong putri nya, sementara Almer hanya tersenyum memandanginya.

"Maybe one day" Almer berbisik pada hati kecilnya.

"Jika hari ini dan besok sudah membaik, lusa Bella sudah boleh pulang" Almer mengusap pipi gadis kecil yang ada di gendong sang Ayah. Anak perempuan itu tersenyum memperlihatkan giginya yang tak lengkap.

"Terima kasih Dokter Almer" Almer tersenyum pada anak perempuan bernama Bella itu, ia menjadi Pasien di sini sejak kemarin pagi karena cedera.

"Sama-sama" Almer tersenyum manis pada anak itu.

"Daddy aku ingin di gendong Dokter"

"Bella" Tepis Ayah dari gadis kecil tersebut.

Namun, Almer berkata lain, ia harus selalu ramah pada Pasien apalagi anak-anak. "Tidak apa-apa, saya akan menggendong Bella"

"Agar cita-cita Bella menjadi Dokter bisa terwujud" Almer menggendong gadis kecil itu, ini bukan pertama kali nya Almer menggendong seorang anak yang bukan anak nya, tapi kali ini berbeda karena di titik ini Almer bisa merasakan bagaimana saat seorang pria seperti nya bersama sesuatu yang ia butuhkan selain istri.

Meski berkali-kali Almer menolak, tetapi hati kecil nya tak berbohong, ia butuh suara tangisan atau tawa dari seorang anak.

Pemandangan itu tak sengaja di lihat oleh sang istri yang pada awal nya baru selesai memeriksa salah satu Pasien, itu pemandangan yang mengharukan dan tak bisa ia wujudkan.

__________________________


"Meskipun aku bukan Dokter kandungan, tapi aku masih ingat dengan empat orang wanita yang menceritakan masalah mereka.. Bertahun-tahun menikah tapi tidak punya anak"

"Lalu aku memberi tahu mereka terapi dan pengobatan yang aku dapatkan dari Dokter-Dokter yang aku datangi"

"Mereka sering konsultasi pada ku dan satu persatu dari mereka memberi kabar jika aku berhasil.. Mereka hamil"

Wanita itu membiarkan air mata nya terus menetes di hadapan salah satu Dokter senior di Rumah Sakit tempat dia bekerja, hingga menemukan pria yang menjadi suaminya.

"Aku bisa menyembuhkan orang, tapi aku tidak bisa menyembuhkan diri ku" Dia terisak, lalu menghela napas dalam-dalam meski itu semakin membuatnya menangis.

"Aku bisa menyelesaikan masalah orang.. Tapi.. Aku.. Aku tidak bisa menyelesaikan masalah ku" Suara Zara melemah, biasanya orang-orang melihat nya seperti perempuan tegas dan tak pernah sekalipun meneteskan air mata bahkan di hadapan suami nya.

Namun, sore itu dia menangis di hadapan Dokter senior, seorang wanita berusia lima puluh dua tahun yang merupakan Dokter bedah. Wanita berjilbab dengan tanda nama Emma Shalsabilla itu menatap iba Zara, ia menganggap Zara seperti putri nya sendiri dan ia tahu seberat apa masalah yang sedang Zara tanggung, berkali-kali Emma sudah memberi solusi, tapi belum juga ada tanda-tanda kehamilan Zara.

"Itu bukan berarti kau gagal, Nak"

"Hanya belum saatnya, jangan berputus-asa" Emma memegang kedua tangan lemah Zara. "Seberat apapun usaha mu kalau itu belum di takdir kan untuk mu, hasilnya mungkin tidak akan ada"

"Tapi, barangkali Tuhan lebih tahu kalau mungkin saja kalian belum sanggup untuk itu" Emma memegang tangan Zara untuk meyakinkan.

"Tenang saja Nak, usaha mu tidak akan sia-sia" Emma memeluk Zara, ia membiarkan Zara terisak dalam pelukan seorang Ibu, Zara tak pernah menampilkan tangisan menyedihkan ini di depan orang lain, bukan karena tak ingin dikasihani, tapi Zara sudah lama membangun topeng ini.

"Tapi solusi satu-satunya adalah.. Aku harus merelakan Almer.. Suami ku dengan wanita itu" Emma menepuk-nepuk punggung Zara tak kala suara tangisan dan isakan Zara berpadu di dalam ruangan Emma.

"Aku tidak mau.. Aku tidak rela"


__________________________


Salah satu tangan Almer menggenggam tangan Zara saat mereka masih terjebak macet saat menuju pulang, Zara sengaja memakai kacamata dan memoles lipstik dengan warna merah agar tak  terlihat seperti wanita yang selesai menangis.

"Kau pulang ke Rumah malam ini?" Pertanyaan Zara membuat Almer menatap nya, lalu tersenyum  singkat.

"Tidak, aku bersama mu" Jawab nya, ini sudah lebih dari satu bulan Almer menjadikan Meysha sebagai istri nya, tapi Almer pulang ke Rumah Orang tua nya hanya tiga kali, itupun tidur terpisah dengan Meysha.

Zara diam sejenak, lalu melihat padatnya lalu lintas sore itu, ia bersandar nyaman pada kursi nya  membiarkan Almer kesulitan mengemudi dengan bebas karena macet.

"Seperti nya kau punya beban pikiran" Zara menatap Almer, lalu menggeleng cepat, Almer begitu mudah untuk mengetahui Zara, ia sudah lama mengenal Zara dan menjadi suaminya, tentu saja Almer mengetahui apa yang sedang Zara rasakan. Meski topeng Zara terlalu tebal.

"Tidak, hanya memikirkan Pasien hari ini" Almer tertawa lirih, lalu kembali fokus pada jalanan padat yang ia lewati.

"Aku mengenal mu, yang sedang kau pikirkan bukan masalah pekerjaan"

"Maaf" Almer kehilangan senyuman nya, ia menatap sang istri yang melamun layaknya memiliki banyak beban pikiran.

"Are you okay?" Almer mengusap salah satu pipi Zara dengan lembut, ia tersenyum memandangi Zara yang belum juga menatapnya.

"Kau mengenal ku dan bahkan memberi apapun yang tidak aku minta" Zara menatap pria tampan yang menjadi suami nya hampir tujuh tahun itu.

"Tapi aku tidak bisa memberi mu apa yang kau mau" Almer menatap Zara, haruskah topik ini lagi yang mereka bicarakan?.

"Kau melakukan yang terbaik, kau tidak memiliki kekurangan apapun"

"Kau hadiah terbaik yang aku terima" Almer mengusap pipi Zara, lalu mencium singkat kening sang istri.

"Almer, aku tidak tahu harus apalagi" Zara menatap Almer. "Malam ini, pulanglah ke Meysha."


_______________
Bersambung
_______________

Zara? Aku gapapa?🙂
.
.
Fast up🙌🏻🌾

First WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang