Malam itu seperti malam biasanya Devon tertidur pulas dalam kamarnya yang kosong dan gelap. Devon tertidur sangat tenang, kontras dengan suasana malam yang sunyi.
Namun, ketenangan itu terusik oleh rasa sakit yang tiba-tiba menjalar di dalam perutnya, menganggu tidur Devon yang nyenyak. Dalam kegelapan, dia merintih kesakitan, tubuhnya perlahan berubah posisi jadi meringkuk seperti mencoba untuk melindungi perutnya dari rasa sakit yang nyatanya tidak bisa hilang semudah itu. Setiap hembusan napasnya juga semakin berat, alisnya sampai mengerut, diiringi dengan bibirnya yang bergumam pelan, dan kaki yang menekuk tidak nyaman.
Devon terbangun dari tidurnya, dengan hembusan napas yang tersendat-sendat. Lidahnya mengecap rasa pahit yang menguap dari tenggorokan, memenuhi mulutnya dengan sensasi aneh yang menyiksa.
Devon berkedip beberapa kali, kemudian menggeser pandangannya menelusuri sekitar. Hanya ada kekosongan yang berhasil dia temukan dalam kamarnya. Bodohnya dia yang sempat mengharapkan kehadiran Arson disini. Devon tersenyum miris sebelum dia kembali meringis sakit. Tadi untuk sesaat, sosok Arson adalah orang pertama yang muncul dalam kepalanya, sebelum dia membuka mata dan mengumpati pikirannya.
Mungkin Devon tidak menyadari bahwa jauh di dalam alam bawah sadarnya, dia sudah mulai terbiasa akan kehadiran laki-laki itu dan mengharapkan kehadirannya di saat-saat seperti ini, tapi kondisi di antara mereka yang bermusuhan membuat mereka tidak bisa berinteraksi terlalu sering.
Devon kembali dibuat meringis oleh sengatan menyakitkan yang terasa dalam perutnya. Dia mencengkeram erat bagian itu dengan tangan gemetar, kemudian bergerak perlahan mencoba bangkit dari tempat tidurnya. Setiap gerakan menyebabkan rasa sakit yang menusuk-nusuk bagian dalam lambungnya. Dia meraih dinding kamarnya untuk berpegangan, mencoba menemukan pijakan dalam kamar yang minim pencahayaan. Beberapa kali Devon menghentikan langkahnya hanya untuk meringis dan semakin mencengkeram perutnya setiap kali dia tidak bisa menahan rasa sakitnya.
Devon menjatuhkan tubuhnya ketika sampai di dekat nakas yang berada dekat dengan pintu kamar, mendudukan diri pada keramik yang terpasang sempurna di lantai. Tangannya yang gemetar langsung membuka satu-persatu laci yang ada, tergesa mencari sesuatu yang mungkin bisa dimakan. Barang-barang terlempar ke segala arah, membuat sekitarnya menjadi berantakan
Sayangnya dia tidak nenemukan apapun selain tumpukan buku dan benda tidak berguna lainnya di dalam laci itu. Stok makanannya sudah habis, tidak ada apapun di dalam kamarnya yang bisa dia makan.
Devon memutar otaknya, dia berpikir cepat mencari solusi atas situasi ini. Apa yang perlu dia lakukan?
Devon sedikit menggeser tubuhnya menatap ke arah pintu kamar yang sengaja dia kunci rapat. Untuk saat ini, satu-satunya pilihan yang dia miliki hanya mencari persediaan makanan milik ayahnya yang berada di dapur, tapi untuk melakukan itu dia harus mempertaruhkan hal paling menakutkan dalam hidupnya.
Devon berpikir, mana yang lebih penting untuk saat ini, entah pergi keluar dan berkemungkinan tertangkap oleh ayahnya, atau tetap aman berada dalam kamar ini dengan perut yang terasa sakit luar biasa. Pilihan manapun akan sama saja, tidak ada yang lebih baik menurut Devon, tapi hanya itu pilihan yang dia punya.
Devok tau, Ayahnya belum pulang ke rumah di jam segini, tapi tetap beresiko jika sewaktu-waktu Ayahnya itu kembali.
Semakin lama berpikit, Devon merasakan perutnya yang semakin sakit sampai berada di tahap panas yang menimbulkan sensasi perih. Dia menggeram rendah dengan lengan yang sedikit menekan perutnya sebagai pelampiasan rasa menyiksa yang dia rasakan.
Rasanya dia tidak akan sanggup menahan sakit ini semalaman, maka Devon telah memutuskan. Dia beranjak dari duduknya, berjalan tertatih mendekati pintu.
Dengan tangannya yang bergetar hebat, dia memutar kunci pintu secara perlahan, memegang pegangannya dan menarik pintu itu dengan gerakan yang sangat pelan. Dia menahan napasnya saat pintu itu berderit pelan dan terbuka. Udara menerpanya, membawa perasaan berdebar yang menyeramkam ketika pintu itu terbuka sepenuhnya.
Devon tahu dia harus mengambil risiko. Dengan ketakutan yang dia bawa, Devon mengambil satu langkah melewati garis pintu. Dia memberanikan diri keluar dari kamar yang selalu menjadi tempatnya berlindung. Berjalan tertatih dengan napasnya yang terengah. Setiap langkah yang diambilnya terasa berat, penuh dengan ketakutan akan kemungkinan Ayahnya yang akan kembali. Dalam hatinya dia terus merapalkan pengharapan supaya Ayahnya tidak pulang dalam waktu dekat, setidaknya sampai dia selesai mengambil bahan makanan dan kembali ke kamarnya.
Langkahnya berhasil membawa Devon sampai ke dapur dengan perasaan was-was yang menyelimuti. Tangannya gemetar saat dia membuka pintu kulkas, mencari-cari apa pun yang bisa dia bawa ke dalam kamarnya untuk mengisi perutnya yang kosong. Matanya menyusuri rak-rak yang berisi botol alkohol, minuman bersoda dan makanan aneh lain yang sepertinya tidak bisa membantu sakit pada perutnya.
Baru akhirnya, Devon menemukan sebungkus nugget beku di dalam freezer, matanya juga menangkap sebungkus roti di rak atas. Dengan cepat, dia mengambilnya dan menutup kulkas dengan hati-hati.
Devon bergerak mendekati kompor, dia perlu memasak nugget tersebut lebih dulu. "Emm... Masak lima atau empat ya?" Devon memperhatikan satu keping nugget yang dia pegang, memikirkan jumlah yang perlu dia masak. "Oke empat aja deh. Jangan banyak-banyak nanti Ayah bisa marah, hih serem..." katanya merinding sendiri dengan pemikirannya.
Setelah sudah mengambil jumlah yang pas untuk dia goreng, Devon kembali merapihkan bungkus nugget itu dan mengembalikannya pada posisi semula dengan hati-hati. Dia meraih roti yang ada di rak atas, membuka bungkusnya, kemudian memakam roti itu sembari menunggu nuget yang dia goreng.
Perutnya terasa perih ketika dia menelan roti itu. Sakitnya menjalar sampai terasa panas ke tenggorokan. Roti rasa cokelat yang dia makan berubah rasa menjadi hambar dengan sedikit sensasi pahit ketika dia mengecap lidahnya.
Devon menghela napas pasrah. Dia lupa kapan penyakit menyiksa ini hinggap dalam tubuhnya, entah bagaimana awal mulanya Devon juga tidak bisa ingat dengan jelas.
Saat Devon kembali mendapat fokusnya, nugget yang dia goreng ternyata sudah matang. Dengan hati-hati dia meletakkannya ke dalam piring, ingin segera kembali ke kamarnya, berharap bisa menikmati nugget itu dengan aman.
Senyum Devon merekah lebar ketika melihat nugget-nugget yang tersaji di atas piring. Dia senang mendapati akan segera menyantap makanan itu.
"Satu, dua, tiga... yey ada empat hehe" gumamnya sambil menunjuk satu-persatu kepingan nugget itu untuk dihitung. "Devonnya pasti kenyang sekali ya ini"
Nyatanya empat keping nugget itu terlalu sedikit, mungkin tidak akan cukup untuk membuat perut Devon merasa kenyang. Namun, Devon tidak berani mengambil lebih dari ini, bahkan dia merasa takut hanya untuk mengambil nasi hangat yang ada dalam rice cooker. Dia takut Ayahnya akan sadar kalau makanananya berkurang dan memarahinya.
Kakinya kembali melangkah menuju kamar, fokusnya tidak teralihkan pada piring nugget yang dia bawa. Merasa tidak sabar memakan nugget itu. "Nugget kecil-kecil nanti kalian aku makan di kamar ya, pasti rasanya enak nyumnyum. Sebentar ya aku jalan dulu ke kamar aku biar kita aman" kata Devon bicara pada nugget yang tidak bisa menjawabnya.
"HEH ANAK HARAM!!"
Bentakan kencang menggelegar masuk ke dalam telinga. Devon sampai terlonjak kaget mendengarnya.
Devon menggerakan kepalanya dengan ragu, menoleh pada asal suara. Mata Devon melebar terkejut saat melihat ayahnya berdiri di ambang dapur dengan ekspresi emosi yang tergambar jelas di wajahnya. Jantungnya berdegup kencang merasa takut pada kemungkinan yang akan terjadi. Tangannya memegang erat piring yang dia bawa, menahan rasa gemetar pada tangannya. Devon berusaha menyembunyikan ketakutannya di balik wajah yang tenang, berharap agar ayahnya tidak melihat getaran tubuhnya yang bahkan tidak bisa disembunyikan sama sekali.
"A-ayah..." cicit Devon takut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Innocence [END]
Teen FictionSinister Series : 2 Sebelum membaca cerita ini, disarankan untuk melihat bio di profil lebih dulu!! Devon Abimana, ketua dari geng Alter, bertemu dengan Arson Juliard, yang merupakan anggota geng musuh. Arson yang saat itu tergerak membantu Devon me...