Bab 14 : THE RED RAIN

368 34 50
                                    

bagaimanapun, terimakasih karena telah mengizinkanku menjadi adik kalian.”

****************

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

****************

Kadzuki berhenti lebih dulu yang disusul ketiga kakaknya. Ia berbalik menghadap kakak sulungnya yang masih mencoba mengatur nafasnya.

"Zuki, masaki, hiroto."

"Jangan main-main!" Hiroto segera menyela marah, dia memegang karah mantel Takeru yang terdiam menatapnya. "Kenapa kamu diam saja mengenai hal ini?" Hiroto bertanya dengan emosi.

Kadzuki berbalik sembari menutup mulutnya. Dia meraih pilang bangunan sembari tertunduk. Dadanya sangat sakit dan panas, tembakan itu benar-benar terasa sekarang. Dia menyender lemas pada pilang itu. Matanya terpejam, berusaha untuk menekan rasa sakitnya.

Sejujurnya dia juga takut saat ini. Pertarungan tadi bukan hal remeh, salah satu langkah maka nyawa akan melayang. Dan dirinya sudah salah satu langkah. Dia sudah tertembak pada dada atas bagian kiri, dekat dengan tulang. Itu menyakitkan, benar-benar menyakitkan. Rasanya, kadzuki ingin menangis tapi ia masih berusaha menahannya.

"Apakah kami halangan bagimu?" Tanya hiroto kembali. Takeru menggeleng cepat untuk menyangkalnya.

"Tidak!"

"Aniki, apa itu bohong?" Masaki bersuara, dia masih membelakangi kedua saudara laki-lakinya dan takeru menoleh padanya. Masaki lalu menoleh dengan tajam. "Kau mengatakan, gunakan tanganmu untuk melindungi hal yang kau anggap penting." Ujarnya terbawa emosi.

Hiroto melepaskan cengkeramannya, ia mencoba untuk lebih tenang. "Kenapa kamu seperti ini?" Tanya masaki lagi. Takeru menunduk menatap pistol dalam genggamannya.

"Aku.. aku hanya..."

Kadzuki berbalik dengan mata sayu, dia masih menutupi mulutnya dan bersandar pada pilang bangunan. Gadis itu menatap takeru lamat. Dengan pelan gadis itu berjalan menuju hadapan takeru. Nafasnya tersengal-sengal karena rasa sakit di dada. Kadzuki menatap pistol yang di pegang kakaknya sebelum tepat menatap kedua mata milik kakak sulungnya. Dia membentuk senyum sendu dengan mata sayunya.

Rasanya seperti ada benda tajam yang menusuk hati pria tertua dari amamiya bersaudara. Melihat senyuman itu, rasanya benar-benar menyakitkan. Sungguh.

"Naa, aniki... Nanda? Nandayo?" Kadzuki bertanya lirih. Rasanya sudah tidak sanggup lagi untuk berbicara. Rasa sakitnya benar-benar menyiksa kadzuki.

Terdapat senyum tipis ketika mendapati adik bungsunya telah dalam hidup mandiri sepeninggalannya. Tidak dapat dipungkiri jika dalam lubuk hati terdalam takeru juga merasa bersalah. Adiknya benar-benar hidup seorang diri di kota asing. Takeru menghela nafas sebelum menjawabnya. "Orang yang membunuh orang tua kita adalah kamizono. Itu bukan bunuh diri, hanya tidak ada bukti!"

𝗦𝗘𝗥𝗘𝗡𝗜𝗧𝗬Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang