Bab 06 : Satu Syarat

389 25 4
                                    

Ini gak tau kenapa, kok bab 06 bisa di bawah bab 00🥹. Saya peringatkan untuk lanjut ke bab 01 dulu!

Enjoy!

***

Malam itu, terdengar bunyi ledakan yang sangat keras. Api berkobar dengan ganas melahap semua yang berada dalam jangkauannya. Asap menyebar dengan cepat, menyatu menjadi polusi udara.

Di sebuah kuil yang terletak di atas bukit wilayah perbatasan kota Chiku, seorang gadis memandang tragedi kebakaran yang terjadi di wilayah Mumei Gai. Dahinya mengerut dengan serius. Permen karet yang dia tiup hingga menyerupai balon bewarna pink pudar pecah seketika.

"Bagaimana bisa … Bukankah tidak ada yang mau masuk ke wilayah itu?"

Aisnya menyatu dengan serius. Ini adalah rumor yang beredar jika seseorang berani memasuki wilayah Mumei Gai maka dia tidak bisa kembali. Orang-orang di wilayah itu sangat anti dengan kedatangan orang asing. Mereka memilih untuk mengisolasi diri di tempat kumuh itu.

Si gadis membenarkan letak topi hitamnya. Ia melindungi kepalanya dengan tudung jaket yang tebal untuk sedikit menghalau hawa dingin malam ini. Dia berbalik menuruni tangga, tangannya memegang ponsel yang berbunyi menandai ketika pesan masuk. Ia segera menjauh dari kawasan kuil. Kadzuki melangkah cepat di trotoar jalan, hampir dua puluh lima menit dia berjalan tanpa henti.

Siluet dua pria dengan motornya terlihat dari kejauhan. Kadzuki segera berlari menghampiri. Ia berhenti menerima helm dari Hiroto, helm yang sama dengan milik denganya. Kadzuki menatap heran kakak tertua disini, Masaki hanya tersenyum konyol dan mengangguk. "Naiklah." Kadzuki menurut. Tangannya melingkar di perut Hiroto. Ketiga saudara amamiya itu sekali lagi melirik kobaran api.

"Bagaimana sekarang?"

"Ikuzo."

***

Matahari telah melakukan tugasnya. Jepang kembali menjadi terang oleh cahayanya. Amamiya bersaudara telah sampai di wilayah Mumei Gai. Kadzuki menelan ludahnya kasar, matanya bergerak liar memindai keadaan sekitar. Kebakaran yang terjadi semalam berdampak besar. Rumah-rumah hancur, bahkan beberapa masih menyisakan api kecil. Bau gosong benar-benar menyengat. Si bungsu amamiya menutup hidungnya dengan kaos putih polos bertudung yang di lapisi jaket kulit berlambang amamiya bersaudara kebanggaannya.

Kadzuki mencengkram baju masaki di depannya. Ia sedikit terbatuk-batuk akibat asap tebal, matanya juga terasa perih. Hiroto melirik adiknya, ia lumayan khawatir. Dia mengambil sapu tangan dari saku jaketnya lalu ia menaruh lengannya di bahu sang adik. Kadzuki langsung mengambil sapu tangan dan menutupi hidungnya.

"Mengerikan."

Keduanya kakaknya mengangguk setuju. Mereka berhenti di tengah, melihat keadaan Mumei Gai dari tragedi semalam. Kadzuki berjalan selangkah membuat rangkulan Hiroto terlepas. Dua pria amamiya memperhatikan kegiatan adik bungsunya, gadis itu mengendus jari telunjuknya yang habis terkena karat dari bangunan yang telah roboh.

"Ada apa?" Masaki bertanya heran karena tindakan Kadzuki.

"Tidak. Tidak ada."

Masaki mengangguk. Dia kembali mengamati bangunan rusak Mumei Gai, helaan nafasnya meluncur begitu saja.

"Ayo pergi, aku tidak sanggup melihat lagi," masaki memerintahkan keduaadiknya.

Hiroto dan Kadzuki saling memandang dengan heran. Hal yang terjadi tentunya hiroto yang menjadi kesal.

"Hah, lalu kenapa kita jauh-jauh kesini?"

"Mustahil aniki berada di tempat seperti ini, kan…" Masaki menjawab dengan tenang dan melangkah pergi.

𝗦𝗘𝗥𝗘𝗡𝗜𝗧𝗬Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang