"Sudah dengar kabarnya? Kawaki di DO dari sekolah"
"Ya, siapa yang tidak tau? "
Hiruk pikuk dengan pembicaraan yang serupa terus merebak hampir seminggu ini. Dan sejak tiga hari ini pula tak lagi dapat di jumpai, lelaki bersurai hitam legam dengan iris Arfvedsonit itu yang biasa selalu di incar dan di elu-elukan oleh gadis gadis di sekolahnya. Tak ada lagi kerusuhan di Koridor sekolah ketika lelaki itu keluar dari kelasnya, tak ada lagi tumpukan love letter yang memenuhi loker no 10 milik kelas lelaki itu, dan tak ada lagi tatapan mengerikan yang dilayangkan gadis-gadis penggemar lelaki tersebut pada gadis berambut indigo itu. Sebaliknya, kini justru sorot mata simpati yang tersirat secara implisit dari mata orang-orang tersebut.
"Sumire". Sumire tersentak saat suara tersebut menyambangi gendang telinganya. " Ya? " Tanya Sumire, tanpa membubuhkan niat sedikitpun dalam ucapannya.
"Jangan putus asa begitu, ayo semangat. Mungkin dari awal dia bukan laki-laki yang baik" Ucap seorang gadis berambut coklat yang merupakan teman sekelas Sumire. Sumire tersenyum ramah, nyaris memelas. "Dia baikk" Jawab Sumire senantiasa dengan senyumannya. Senyum tulus dari hati yang coba ia siratkan untuk setidaknya ada satu orang yang menyadari, bahwa bukan palsu senyumnya dan betapa sungguhnya ia mengatakan hal tersebut.
Semuanya sia-sia, bahkan jika ia berteriak pada dunia mengatakan betapa baiknya lelaki dingin bernetra Arfvedsonit itu, tetap saja rasanya tak lagi dapat ia kembalikan nama baiknya dihadapan teman-teman sekolahnya. Semuanya salahnya, semuanya terjadi karna dirinya. Seandainya lelaki itu tak mengenalnya, akankah hidupnya lebih baik saat ini?
Waktu terus berjalan, tak dapat lagi ia temui ataupun dengar kabar lelaki itu. Ia menghilang bagai di telan bumi. Ingin rasa hati menjelaskan semuanya dan meminta maaf, namun keberanian tak cukup sedangkan hatinya sarat akan ketakutan. Takut melihat bagaimana Arfvedsonit lelaki itu akan menatapnya sekarang, takut dengan tuturan apa yang akan dikatakan lelaki itu begitu mendapati presensinya. Sumire hanya terus merapal, setidaknya Tuhan berbaik hati untuk mengirimkan lelaki itu padanya secara kebetulan. Maka pada saat itu,akan dengan sungguh-sungguh Sumire membungkukkan dirinya memohon maaf.
Permohonan tersebut agaknya terkabul lebih cepat dari yang Sumire kira. Postur tubuh tegap, kulit tan, surai hitam mullet yang hampir panjang, serta netra Arfvedsonit nya yang berkilat. "Kawaki" Satu kata tersebut terlontar seketika dari bibir Sumire, yang agaknya terdengar oleh sang empu.
Kawaki menoleh, tatapannya datar tertuju lurus membidas netra violet Sumire. "Selesai disini, Sumire" Satu kalimat tersebut terucap dari bibir lelaki itu, sebelum eksistensinya enyah bahkan sebelum dapat Sumire rampungkan apa yang ia janjikan pada dirinya sendiri.
°°°°
Sarada menjatuhkan satu kecupan ringan pada bibir Boruto, ketika pria itu hendak melangkah masuk lebih dalam ke bandara. "Sebisa mungkin hubungi aku" Tutur Sarada lembut.
"Tentu, jaga dirimu. Katakan padaku jika ingin menyusul. Maka akan ku pesan tiket dengan pesawat tercepat agar kamu cepat sampai" Boruto berucap dengan kekehan andalannya, membuat Sarada tanpa sadar ikut mengangkat kedua sudut bibirnya.
"Cepat pulang"
"Akan ku usahakan". Boruto kini mengusak lembut surai raven Sarada. Rasa hati berat meninggalkan Sarada sendiri dalam kondisi begini, namun keadaan memaksa dengan segala rasa risau di dalamnya. Boruto sesungguhnya mengajak Sarada untuk ikut saja dan pergi bersamanya karna Boruto merisaukan jika Sarada sendirian di rumah walaupun sebenarnya ada Tsubame di apartemennya, namun tetap saja rasanya akan lebih tenang disaat ia bisa melihat kondisi Sarada secara langsung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matchmaking To Happiness
RomanceDijodohkan dengan seorang pria yang tak ku kenal sebelumnya, bahkan wajahnya pun tak aku ketahui. sedangkan pernikahannya akan segera dilangsungkan satu bulan dari mereka memberitahu ku tentang perjodohan bodoh itu. Bagaimana mungkin aku bisa tenang...