Devon terbangun saat matahari masih belum menampakkan dirinya. Matanya terbuka perlahan, berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan pengelihatannya yang belum sepenuhnya jernih. Tubuhnya terasa berat, dan setiap gerakan kecil berefek sangat menyakitkan.
Devon mengedarkan matanya, mendapati kalau dia masih berada di dapur, terbaring dalam keadaan telungkup. Wajahnya menempel erat pada lantai yang dingin, dan napasnya terdengar lemah. Setiap otot tubuhnya menolak untuk bergerak, terasa remuk karena serangan yang dia dapatkan semalam. Ingatannya masih terekam jelas tentang kejadian tadi malam, saat ayahnya kembali melepaskan amarahnya pada Devon.
Mendadak bayangan sosok ayahnya muncul kembali di kepala Devon. Wajah kasar yang bercampur dengan kemarahan, suara keras yang memekakan telinga, dan rasa takut yang memenuhi hati Devon saat dia berusaha menghindari serangan demi serangan yang datang tanpa henti. Setiap kali tinju ayahnya menyentuh tubuhnya, rasa sakit itu terasa seperti menghancurkan semua yang ada dalam dirinya. Semuanya menempel lekat dalam ingatan Devon.
Bahkan Devon masih mengingat jelas ketika pertama kali ayahnya memukulnya. Semua perlakuan kasar yang ayahnya lakukan juga masih berputar bagai memori buruk yang tertinggal dalam kepala Devon.
Satu tetes air mata perlahan mengalir keluar dari kelopak mata Devon yang kembali tertutup. Perasaan tidak nyaman yang bersarang dalam hatinya meluap menjadi sebuah tangisan.
Devon menangis sendirian. Berusaha sekuat tenaga supaya tidak menimbulkan suara, takut kalau tangisnya akan mengganggu sang ayah dan akan membuat beliau kembali murka.
Rasanya sangat sakit. Tubuh dan hatinya. Devon tidak bisa membedakan sakit di bagian mana yang lebih terasa. Tubuhnya memang terluka cukup parah dengan lebam dan darah di beberapa bagian, tapi jauh dalam dirinya, hatinya juga merasa sakit.
Devon ketakutan. Semalam dia terus meminta maaf dengan harapan ayahnya mau berhenti memukulnya, tapi yang dia dapatkan justru pukulan yang semakin menyakitkan. Kenapa ayahnya berbuat begitu padanya?
Devon tidak mengerti kenapa dia dipukul. Dia bahkan tidak tau dimana letak kesalahannya sampai ayahnya bisa begitu jahat seperti ini.
Lelehan air mata mengalir cepat melewati pipi Devon yang bulat, meninggalkan jejak yang membuat wajahnya basah sebagian, tapi Devon tidak terganggu. Dia bahkan tidak bisa menghentikan tangisannya sendiri.
Sakit. Hanya sakit yang bisa Devon rasakan. Badannya terasa ngilu dan hatinya meraung sesak. Devon tidak suka dipukul. Dia bertanya-tanya apakah dia tidak bisa disayangi saja layaknya anak lain diluar sana? Kenapa dia harus merasa takut berada di dalam rumahnya sendiri?
Semua pertanyaan yang akan terus berulang dalam pikiran Devon, tapi sebanyak apapun dia bertanya, dia tetap tidak bisa mendapat jawabannya. Tidak ada solusi untuk masalahnya, tidak ada seorang pun yang bisa menolongnya. Devon total sendirian dalam masalah ini.
Susah payah Devon berusaha mengangkat tubuhnya dari lantai. Setiap gerakan terasa seperti akan membunuhnya dengan rasa sakit. Dengan langkah yang gemetar, Devon berjalan menuju kamarnya, hatinya berdebar keras seiring dengan langkahnya yang bergerak ragu. Tangannya gemetar hebat ketika dia mencoba menggenggam gagang pintu.
Di dalam kamarnya, Devon terburu-buru meraih ponselnya dengan panik. Jari-jarinya hampir tidak mampu menekan tombol-tombol kecil yang ada pada layar, tapi dia tetap berusaha. Tangisnya masih belum berhenti bahkan ketika dia mendengar suara dering yang menggema.
Suara Yasa, sahabatnya, memberikan sedikit rasa lega dalam ketakutan yang memuncak.
"Hm, kenapa Dev?" Suara Yasa terdengar parau di seberang. Jelas sekali laki-laki itu baru saja terbangun dari tidurnya. "Kenapa telpon subuh-subuh begini?" tanyanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Innocence [END]
Teen FictionSinister Series : 2 Sebelum membaca cerita ini, disarankan untuk melihat bio di profil lebih dulu!! Devon Abimana, ketua dari geng Alter, bertemu dengan Arson Juliard, yang merupakan anggota geng musuh. Arson yang saat itu tergerak membantu Devon me...