Bagian 2 | Salam pada kematian
"Kami tidak bersalah, mengapa harus terluka?"
🖋🖋🖋
Hunian sepi, oleh raga penuh luka.
Suara teriakan bersahut-sahutan kembali berkumandang dalam suatu ruangan besar. Akibatnya seorang lelaki berambut merah terang kembali terjaga usai mengubur keinginannya menenggelamkan diri pada dunia mimpi. Mata sembab lelaki itu terbuka paksa meski rasa perih menghantui indra penglihatannya itu. Pandangannya kembali mengabur ketika melihat sesosok yang paling ia kenal harus terjembap karena dipukul oleh pria berbadan besar menggunakan tongkat golf. Suara retakkan tulang sangat kentara disusul ringisan pelan.
Sang rambut merah lantas berjalan tergopoh-gopoh, berusaha mendekat. Ia yang sekarang terkurung dalam ruangan kaca penuh perabotan mewah merasa sangat pilu melihat kawan seperjuangannya berada dalam kondisi hidup dan mati.
"Engga... jangan lagi, jangan Teja... lepasin dia!" Teriakan berbalut rintihan serta penyesalan akan kejadian yang menimpa dia dan teman-temannya selalu bergelimang pada pikirannya selayaknya buih lautan.
Sang rambut merah memukul kaca yang menghalangi perjuangannya menuju sang kawan, darah pada tangannya tidak lagi menjadi fokus utama. Rasa sakit itu tidak seberapa dibandingkan penderitaan teman-temannya. Apalagi kali ini yang mereka siksa adalah Teja Andriansyah, lelaki menyimpan segala persepsinya dalam kepala, lalu meledak dan bersuara disaat-saat tepat.
Sang rambut merah biasa memanggilnya Penasehat sebab Teja selalu bisa memberikan saran paling sesuai akan permasalahan orang lain, tidak menyudutkan maupun menenangkan, ia selalu bersikap netral. Tentu saja tanpa berat sebelah. Sayangnya sifat Teja yang seperti itu tidak mau ia keluarkan saat orang-orang bertubuh besar memukuli, menginjak, merobek, bahkan menggunting kulit-kulitnya. Opini-opininya kali ini tidak ubah seperti sebuah oksigen semata, tidak terlihat.
Sedangkan orang-orang yang memakai topeng itu seperti karbon monoksida, siap menjadi sarana kematian Teja. Lagi pula, Teja telah pasrah. Kapan saja maut menyapanya, ia siap mengulurkan tangan lebih dulu tanpa ragu.
Sudut mata Teja yang penuh darah akibat dibelasah menggunakan rotan melirik ke arah ruangan kaca yang menampakkan temannya. Teja menggeleng ketika sang teman, tidak lain si rambut merah, terus memukul kaca pembatas dengan sangat kuat. Padahal itu laku sia-sia dan hanya membuat si rambut merah terluka. Meski Teja belum pernah melihat si rambut merah disiksa, ia tahu betul bagaimana kondisi mental lelaki itu. Rusak dan keruh.
"Kalau saya mati... apa dia bebas?" Tanya Teja masih berusaha mempertahankan kesadarannya, mata bulat sekaligus tajam miliknya lantas memandang tiga orang bertopeng yang berhenti sejenak untuk mendengarkan perkataannya.
"Kau bilang apa, anak muda?" Tanya salah satunya.
Teja menghela napas pelan, wajar saja, mulutnya penuh darah sebab beberapa giginya patah sehabis berciuman dengan tongkat golf. Ia meludahkan cairan merah kental itu. "Kalau saya mati... apa dia bebas?" Ulangnya.
"Tentu tidak. Mengapa pula harus bebas? Ruangan ini adalah rumahnya sekarang, apa kau iri? Dia yang berleha-leha menikmati kalian yang dihajar habis-habisan sebagai tontonan."
"Dia teman saya... teman saya yang paling baik, gak mungkin dia nikmatin hal itu."
Pandangan Teja kian menggelap saat merasakan tarikan pada rambutnya yang penuh oleh keringat. Walau terus berusaha menjaga kesadaran, tetap saja ia kalah akan rasa sakit. Rasanya kematian sudah siap memeluk tubuhnya yang kurus sejak pertama kali ia disekap di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jeruji Ikrar
Bí ẩn / Giật gân"Sang Pecandu datang." Riwayat kami akan segera tamat apabila manusia sialan itu tiba. Kegelapan kembali merenggut paksa harapan kami untuk bebas. Jalan yang telah kami tempuh dengan keringat, air mata, dan pemikiran harus berakhir seperti ini. Kam...