Bagian 28 | Membaca Pergerakan

37 19 13
                                    

Bagian 28 | Membaca Pergerakan

"Setiap peristiwa telah diberikan tanda, namun manusia hanya memandangnya sebelah mata."

🖋🖋🖋

Ruangan persegi dengan nuansa gelap terdengar berisik karena tawa melengking seorang perempuan. Ia duduk di sofa sembari bersandar, memandang sayu ke arah ponsel yang menampakkan foto sepasang anak manusia di sana. Bibirnya menarik senyuman lebar, mulutnya terkadang terbuka untuk sekadar menertawakan kondisi dari anak manusia yang ia lihat. Sedetik kemudian, ia terdiam lalu memandang sekitar.

Meski masih siang, cahaya matahari tak dibiarkan masuk, membuat ruangan yang hanya diisi oleh dirinya itu terasa amat sekum.

Dia bangkit sambil melangkah sempoyongan, tangannya memegang kepala yang sudah seperti ditusuk oleh paku, sebuah rasa sakit yang telah ia derita selama beberapa waktu belakangan.

Perempuan itu mendekati meja di pojok ruangan. Ia menuangkan segelas air dan meneguknya hingga tandas. Tanpa memamerkan gerakan anggun, ia mengelap bibirnya kasar bahkan mampu mengoyak benda kenyal berwarna merah muda yang tengah kering itu, membuat darah mengalir cukup deras. Akan tetapi, ia memilih tidak mengacuhkannya.

Merasa bebas melakukan apapun, perempuan itu memilih mendudukkan diri di lantai dingin. Ia memandangi ponselnya lalu kembali tertawa keras-keras.

Ia bahagia. Rasa senang yang ia rasakan sudah memuncak tanpa tahu kapan mereda.

"Kak Serlin, kakak di dalam?"

Suara seseorang membuat tawa perempuan itu berhenti. Ia menatap tajam pintu yang berdiri megah itu. Alih-alih menyahuti seseorang di luar, perempuan bernama Serlin Miranda itu memilih bungkam.

Ia berjalan perlahan mendekati pintu, kemudian menempelkan daun telinganya pada benda keras tersebut.

"Aku ke sini bawain makanan, tolong bukain pintunya, ya? Sekolah sudah sepi, semua murid udah pulang. Hanya tinggal kakak sama aku aja," ucap orang di luar membuat senyuman Serlin merekah. Cepat-cepat ia membuka pintu demi mendapati sesosok pemuda berpakaian rapi di depannya.

Pemuda itu membalas senyuman si gadis. "Aku pikir kakak gak bakalan bukain aku pintu."

Serlin menggeleng kuat tanda tak setuju terhadap ucapan sang lawan bicara. "Mana mungkin gak aku bukain. Kamu 'kan orang penuh terdekatku, Riam."

Riam Oktovio hanya mengacak pelan rambut Serlin, lantas mengulurkan tangan kanannya. "Ayo kita pergi, sopir kak Serlin sudah nunggu di bawah."

Serlin menghela napas panjang. Ia berkacak pinggang lalu memandang Riam dengan tatapan tajam. "Kayaknya masih ada yang harus kita bicarakan terlebih dulu, kan? Aku butuh penjelasan dari semua hal yang sudah kamu rencanakan bersama Pria bajingan itu, bahkan sampai menggaet teman pacarku."

Riam terdiam sejenak, kemudian tersenyum tipis. "Kita bicarakan nanti di dalam mobil, ya. Masih banyak waktu untuk sekadar membicarakan hal itu, gak perlu sekarang. Kasihan sopir kamu yang udah nunggu, Kak."

"Dia digaji untuk itu. Kalau memang dia tidak tahan, Papaku bisa mencari yang lebih baik." Serlin memangkas langsung ucapan Riam yang malah mengalihkan pembicaraan mereka ke arah lain. "Dibandingkan itu, aku rasa waktuku sudah terlalu banyak dibuang untuk menunggu penjelasanmu."

Riam diam tak bersuara. Alasan Serlin mengunci diri di ruangan ini adalah dirinya sendiri yang membuat kesepakatan dengan seseorang yang dibenci oleh gadis itu. Sedari tadi pagi, Riam sudah dicemaskan akan kabar bahwa Serlin memilih keputusan demikian sehingga membuatnya tidak tenang mengerjakan ujian penilaian akhir semester.

Jeruji IkrarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang