Bagian 27 | Menghirup Aroma Kematian

87 41 13
                                    

Hai, Readers!
Selamat pagi/siang/sore/malam
Akhir-akhir ini aku mengalami Writer block karena tidak pernah mempersiapkan alur cerita sejak awal. Aku sudah pernah menyebutkannya pada papan pengumuman, tetapi aku menuliskan ini lagi supaya kalian enggak kaget misalkan alurnya langsung cusssss!

Pada masa ini, aku hanya akan menulis apa saja dalam pikiranku. Walaupun punya berbagai pertimbangan juga sebelum mempublikasikannya.
Oleh karena itu, jika ada hal yang kurang kalian mengerti mengenai suatu kalimat atau mungkin ada kesalahan kata, silakan komen dan beritahukan kepadaku yaa.

Segitu saja, selamat membaca!
💐💐💐

Bagian 27 | Menghirup Aroma Kematian

"Tak mengapa jika yang berjalan saat ini adalah rancangan Tuhan, tetapi mengapa malah manusia campur tangan?"

🖋🖋🖋


Hunian sepi, oleh raga penuh luka

Seorang lelaki terbaring di atas lantai dingin dan penuh debu. Dia meringkuk, bibirnya membiru, dahinya berkerut, giginya gemeletuk, semua yang dia rasakan saat ini hanyalah dingin. Meski begitu, tenggorokannya terasa amat kering karena mulutnya terus dibebat kain, orang-orang bertopeng itu tampaknya tidak ada inisiatif sama sekali untuk memberikan kepadanya.

Kedua tangannya yang sudah bebas dari ikatan berusaha meremas perutnya sendiri supaya bisa menahan rasa lapar. Sejak hari ia dibiarkan terkapar di ruangan berisi pendingin udara itu, dirinya sudah tidak diberi makan lagi.

Semua itu bukan masalah bagi lelaki berambut gondrong ini, sebab ia pernah merasakan hal yang lebih parah. Selagi kematian belum berhasil menjemputnya, maka lelaki itu tetap bisa menghela napas lega.

Telinganya yang semula terpasang kapas segera ia lepaskan, sehingga samar-samar dia mendengar seseorang melantunkan namanya dengan amat lirih sebab terkontaminasi tangisan pedih.

"Bayu, Bayu, bangunlah."

Lelaki bernama lengkap Bayu Anugerah itu mengangkat kepalanya, bermaksud mencari sumber suara. Dia mulai membuka matanya perlahan, namun dia malah semakin menekuk alisnya. Tiba-tiba saja dia merasa perih pada kedua matanya, tidak ada cahaya yang masuk sama sekali. Padahal dia yakin sekali bahwa dia sudah membuka mata.

Suara tangisan dari seseorang yang semula memanggil namanya itu semakin keras, membuat Bayu pening. Dia masih belum mengerti kondisi yang menimpanya saat ini. Mengapa dia tidak bisa melihat apa pun? Jika memang lampu sengaja dipadamkan, seharusnya matanya sudah menyesuaikan pencahayaan sedari tadi.

"Mereka jahat, Bayu. Mereka merenggut penglihatanmu."

Bayu mengerti sekarang. Ternyata yang telah diberikan Tuhan kepadanya telah dicabut paksa oleh manusia-manusia tak beretika. Mereka, orang-orang bertopeng itu, bukan manusia baik dan kedudukan mereka adalah makhluk yang diciptakan dari tanah, sama sepertinya. Tetapi anehnya mereka tega melakukan perbuatan kurang ajar ini.

Seonggok tanah yang diberi nyawa itu dengan bejatnya malah merampas hak milik orang lain.

"Maafkan aku, Bayu."

Sepertinya orang itu bukan menangisi dirinya sendiri, tetapi mengasihani Bayu.

Si rambut merah, tak lain adalah Yudhistira, tidak pernah berhenti meratap sejak beberapa jam lalu. Dia melihat cara manusia bertopeng itu menyeret Bayu menuju ruangan tempat ia mendekam. Mereka membiarkan Bayu telanjang dada, seakan-akan memamerkan karya yang telah mereka berikan selama beberapa bulan silam. Memar akibat pukulan, sayatan pisau, dan luka-luka melempuh yang menyimpan nanah berhasil menggambarkan kebengisan mereka memperlakukan Bayu selama ini.

JERUJI IKRARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang