Bagian 5 | Terkekang pikiran

170 136 28
                                    

Bagian 5 | Terkekang pikiran

"Ada kalanya manusia ingin bersuara, tetapi selalu khawatir akan konsekuensi."

🖋🖋🖋

Sore ini, rintik hujan tampak betah untuk berlama-lama mencegat dua orang pemuda berseragam SMA. Salah satu dari mereka mengoceh sebab dirinya telah kelaparan, namun harus menahan semua itu. Gemuruh guntur dan cahaya petir membuat suasana semakin mencekam.

Keduanya semakin mengeratkan jaket masing-masing. Mulanya mereka menyangka akan pulang malam sehingga membekali diri dengan jaket, tapi sepertinya alam menginginkan jaket itu lebih berguna dan membuat mereka bersyukur akan keputusan mereka saat ini.

Salah satu dari pemuda itu menghela napas kasar dan duduk pada kursi panjang yang telah berembun akibat dinginnya keadaan ini. Saat ini, keduanya berteduh di salah satu bengkel langganan mereka, sebut saja bengkel Bang Mamat. Akan tetapi, belakangan ini bengkel itu tutup akibat sang Pemiliknya sedang pulang kampung ke Makassar.

"Jadi gimana? Kayaknya hujan kali ini bakalan lambat redanya," ucap pemuda yang sedari tadi mengomel.

Pada seragamnya tersemat nama Sabili Ufailanoo. Ia telah memasukkan tas sekolahnya dalam plastik besar dan sekarang benda itu bertenggar pada setang motor revo miliknya. Ia melirik ke arah lawan bicara yang sibuk memandang jalanan sembari memainkan kunci motor dan bersantai di atas motornya.

"Bang Jo!" Panggil Sabili lagi. Ia cukup kesal pada sang kawan karena sedari tadi tidak pernah menimpali ucapannya.

Jonathan Pangestu, si pendebat ulung, memilih turun dan segera duduk di samping Sabili.

"Pinjam HP, Bil."

Jonathan menyodorkan tangannya ke depan wajah Sabili. Entah apa yang ia inginkan, tetapi Sabili menurut saja. Tidak berselang lama, ponsel Sabili kembali pada pemilik aslinya.

Bersamaan dengan itu, Jonathan mengumbar senyuman bahagia. "Gue udah bilang sama Pak Den. Nanti kita berdua bisa dijemput dan pulang cepat."

"Lagian sih, lo juga. Kenapa harus nganterin motor Galen dulu? Memangnya tuh anak kemana, sih?" sambung Jonathan dengan nada sedikit meninggi.

Jika saja Sabili tidak mengajaknya ke rumah Galen untuk mengantar motor, mereka tidak akan terjebak hujan seperti sekarang ini. Dan mungkin saja sekarang mereka sedang berleha-leha di kamar inap Jeffran sembari menyantap cemilan dari Tante Yumi.

Sabili cengengesan seraya mengangkat kedua bahunya sekilas. "Gak tahu. Galen gak bilang dia mau ke mana, tapi tadi boceng sama bang Hendra. Di kantin tadi mereka gak bilang apa gitu sama bang Jo?"

"Setahu gue sih enggak. Palingan cuman bilang ada bisnis gitu. Tapi gak tahu juga."

"Aneh, ya? Apa mungkin mereka menyembunyikan sesuatu dari kita? Semacam rahasia gitu dan cuman mereka aja yang tahu."

Jonathan menggeleng cepat, ia tidak akan membayangkan hal aneh-aneh terhadap Hendra dan Galen. Keduanya selalu terbuka dan berbicara ketika punya masalah. "Jangan negatif thinking. Bisa jadi mereka memang benar-benar ada bisnis, tapi belum berniat bilang sama kita sebelum ada hasil."

"Dih?" Sabili mendelik ke arah Jonathan, mulutnya bersiap mengeluarkan segala yang ada dalam pikirannya, selayaknya pemeran antagonis atau tukang julid pada sebuah pementasan drama televisi maupun secara langsung.

"Apalagi bang Hendra selalu memikirkan segala konsekuensi sebelum berbuat sesuatu. Dia pasti mikir bagaimana pendapat dan reaksi kita terhadap kelakuan dia. Hal terbaik yang bisa dia lakukan, kan, cuman berusaha, berusaha, dan berusaha!" sela Jonathan lebih dulu membuat Sabili menarik segala kalimatnya.

Jeruji IkrarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang