Bagian 36 | Menyembunyikan Kelam

17 8 15
                                    

Pada bab ini, aku menulis hal-hal yang mengandung unsur hukum. Akan tetapi, maafkan aku bila ada kekeliruan karena aku bukanlah seorang yang ahli dalam bidang itu.

Semua informasi yang aku dapatkan berasal dari web, tolong maklumi ya.

***
Bagian 36 | Menyembunyikan Kelam

"Alasan kuat menyertai suatu perbuatan."

🖋🖋🖋

Hunian sepi, oleh raga penuh luka.

"Huh... huh...," hela Kavio sudah tidak sanggup menahan rasa sesak di dadanya. Keringat mengalir deras membasahi seluruh bangian tubuhnya. Tatapannya menjadi sayu bersamaan bibir yang mulai membiru. Berulang kali tubuhnya terkulai lemas di atas lantai dingin, namun ia harus terpaksa meraung kesakitan akibat besi panas yang membuat goresan luka bakar.

"Berhenti. Eurgh... tolong berhenti," pinta Kavio lemas.

Dalam pikirannya, Kavio memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa supaya ia tetap bisa merasakan hari esok. Demi apa pun, ia senantiasa berharap akan bebas dari jeratan orang biadab ini. Ia masih memiliki ambisi untuk bertemu keluarganya, walaupun itu hanya harapan dari seorang tahanan.

Tawa si pelaku terdengar semakin nyaring dibandingkan tadi. Sejak ia memasuki ruangan kotor nan berdebu yang ditempati Kavio, sorot matanya telah memancar keinginan membunuh. Bahkan Kavio bisa mencium aroma anyir darahnya sendiri apabila berhadapan dengan si pelaku.

"Sedikit lagi Kavio. Bertahanlah, kau akan menyaksikan maha karyaku yang luar biasa, meski alat yang kugunakan cukup sederhana."

Sang Pecandu, dialah pelaku semua rasa sakit ini. Dari balik topeng yang ia kenakan, Kavio yakin bahwa ia mengenal orang ini. Jika saja dia punya kesempatan untuk menyingkap benda sialan itu dari wajahnya, mungkin saja Kavio sudah mencakar wajah orang itu tanpa belas kasih.

"Dari sebuah sketsa pada kulitmu ini, kau pasti bisa menebak siapa aku."

Kavio tidak merespon. Telinganya pengang akan rintihan dirinya sendiri. Bibirnya semakin bergetar. Bak ulat bulu, tubuhnya meliuk-liuk.

"Aku kecewa karenamu Kavio. Sudah banyak hari kita lewati, tapi kau masih belum tahu siapa aku sebenarnya. Apakah tidak pernah terlintas dalam benakmu itu mengenai identitas diriku?"

Sang Pecandu terus mengoceh dengan tangan yang masih terulur melukai tubuh Kavio. Dia mungkin tidak menyadari bahwa lawan bicaranya mati-matian menahan umpatan supaya tidak keluar.

"Tapi aku mengerti alasanmu belum bisa memprediksi siapa aku. Kau itu baik, selalu berpikiran baik kepada setiap orang. Mana mungkin kau memasukan seseorang dalam daftar orang yang kau curigai kan? Apalagi jika ternyata pelaku yang membuatmu begini adalah salah satu dari orang kepercayaanmu," ujar Sang Pecandu mengutarakan salah satu watak Kavio.

Dia berhenti sejenak, lantas meletakan besi panas itu di atas tungku yang masih memperlihatkan api menyala-nyala. Sarung tangan tebal yang sedari tadi menghiasi sepuluh jarinya itu segera ia lepaskan. Keringat membasahi dirinya.

"Aku punya sebuah fakta, Kavio. Eum ... sebenarnya aku yakin kau akan kembali bersemangat setelah mendengarnya."

Sang Pecandu bangkit lalu berpindah di depan Kavio. Dia mengangkat wajah lelaki itu. Gerakannya lembut, tanpa berniat melukai.

"Abimanyu telah membayar separuh harga dari perbuatan kalian."

"Apa?"

Kavio membulatkan matanya yang semula terpejam. Alisnya ditekuk, membuat benda cair yang diperoleh kulitnya segera merasuki matanya, menyebabkan rasa pedih luar biasa. Mulutnya terbuka lebar atas pernyataan Sang Pecandu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 6 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jeruji IkrarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang