Bagian 29 | Riam Dan Ucapannya
"Mengetahui maksud dari musuh lebih mudah daripada menerka niat teman dekat."
🖋🖋🖋
Hari telah temaram, semburat jingga bercampur merah merekah di langit. Angin sepoi-sepoi berembus pelan, membawa aroma batagor dari penjual yang baru saja menepi depan rumah seorang pemuda.
Di teras, kursi kayu berbunyi kala pemuda yang semula membeli batagor telah berganti posisi dan duduk di tempat nyaman tersebut. Ia tersenyum bahagia, menampakkan lesung pipi teramat dalam pada kedua pipinya. Tangan pemuda itu mulai aktif memasukkan potongan kecil batagor ke mulutnya, ia bergumam beberapa saat seraya memuji rasa makanan kesukaannya itu.
Dari meja bundar sebelah kursinya, terdapat secangkir teh dan beberapa camilan berupa kue coklat kering buatan sang Ibu. Beralih ke sebelah piring berisi camilan, ada benda persegi panjang yang awalnya diam tak berbunyi ataupun bersuara, mulai memancarkan cahaya beserta getaran ringan, menandakan seseorang baru saja melakukan panggilan telepon kepada pemuda tersebut.
Abimanyu Kusuma, nama pemuda itu. Ia menekuk alisnya menatap seseorang yang telah meneleponnya.
"Kenapa Kak Nana nelepon?" tanyanya pada diri sendiri. Ia kemudian teringat pesan yang sempat dikirimkan Nanda tadi siang, sebuah pesan yang menandakan bahwa lelaki itu tahu akan hal yang ia cari. Lelaki kelas duabelas itu seperti membaca pergerakannya selama ini.
Meski enggan, Abimanyu tetap mengangkat telepon itu. Ia menyalakan loudspeaker dan meletakkan ponselnya di atas meja.
"Halo, Abimanyu! Bagaimana kabar lo? Kenapa gak menjawab pesan yang udah gue kirim?"
Nada ceria yang Nanda lontarkan spontan mematik perasaan bingung bagi Abimanyu.
"Karena gue masih bingung aja sama isi pesan yang lo kirim. Gue gak bisa mengambil maksud dari pesan lo itu," balas Abimanyu berpura-pura tidak tahu. Ia asyik memakan batagor sambil berusaha menyingkirkan perasaan aneh dalam dirinya.
Dari arah sebrang, Nanda tertawa kecil sembari mengembuskan napas panjang. Entah mengapa, tawa yang ditangkap melalui indra pendengar Abimanyu seperti tawa mengejek.
"Masa sih lo enggak paham maksud gue? Bukannya udah jelas banget, ya, kalau lo dan dua teman lo itu datang ke kelas sepuluh satu untuk menemui mereka? Tujuan utama kalian itu apa, sih? Mau mencari tahu tentang apa?"
Abimanyu terdiam sejenak. Ia melirik tajam ponselnya, ia seakan-akan bisa membayangkan ekspresi Nanda walaupun tidak berada di hadapan lelaki itu. Sebelah alis yang terangkat, senyuman miring menyebalkan, serta tawa kecil disetiap kalimat yang ia lontarkan, pastinya itu penampakkan lelaki itu saat ini.
"Orang yang ada di kelas sepuluh satu bukan mereka saja, kan? Kenapa malah Kak Nana malah mengaitkan mereka berdua? Lalu, tadi Kak Nana menanyakan tujuan utama kami, kan? Kami itu cuman mau jalan-jalan aja setelah ulangan, kebetulan kelas sepuluh satu berada dekat balkon yang ada taman mini di situ. Makanya kami ke sana, lagian untuk apa juga kami menemui orang yang Kak Nana maksudkan."
Salah satu bakat Abimanyu adalah kemampuannya menipu orang. Suatu watak yang tidak seharusnya ia keluarkan bahkan jika ketahuan akan menimbulkan kerugian bagi dirinya sendiri.
"Aduh, Abimanyu, kenapa bertele-tele melulu, sih?" Nanda mengembuskan napas lelah kepada lawan bicara. Terdengar bunyi benda logam yang di letakkan secara kasar pada permukaan licin dan keras, sehingga menimbulkan suara cukup nyaring. "Gandi sendiri yang cerita kalau teman-teman lo itu menanyakan Yudhistira dengan dia. Menurut perkiraan gue, lo dan teman-teman lo pastinya lagi mencari tahu kebenaran dibalik kematian cowok itu, kan? Ngaku aja, deh, gak usah mengelak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jeruji Ikrar
Mistero / Thriller"Sang Pecandu datang." Riwayat kami akan segera tamat apabila manusia sialan itu tiba. Kegelapan kembali merenggut paksa harapan kami untuk bebas. Jalan yang telah kami tempuh dengan keringat, air mata, dan pemikiran harus berakhir seperti ini. Kam...