Ketika bangun tidur, aku dikejutkan dengan aroma harum menyengat yang menusuk hidung. Serta suara berdesis mengganggu telinga. Ketika bangun dan membuka pintu kamar yang entah mengapa sudah tidak lagi rapat, aku melihat mama sedang menyemprot serangga dengan barang baru miliknya—semprotan serangga super ampuh yang baru kulihat kemarin iklannya di televisi. Mama tersenyum puas, penyemprot serangga itu dengan sukses melumpuhkan cicak, kecoak, nyamuk, bahkan semut-semut imut yang sedang mengangkut telur-telur putih di punggungnya. Sedikit kuiba pada anak-anak semut yang bahkan belum sempat melihat dunia tapi harus musnah dalam satu detik. Ada ekspresi Fegi kemarin pada wajah mama.
Kesenangan setelah berbuat jahat pada makhluk lain.
Semut-semut merenggang nyawa, dan senyum mama. Aku tercengang.
"Tolong sapu, Mama mau ke warung Mbak Nin dulu." Mama mengambil dompet di atas televisi tabung, kemudian pergi tergesa.
Aku benar-benar memungut serangga-serangga mati itu dengan tangan berlapis plastik kresek. Kukumpulkan di satu tempat. Kemudian kukubur serangga-serangga itu di halaman depan rumah. Meski serangga-serangga itu sering merepotkan, mengganggu, mencuri makananku, tapi setidaknya aku harus memberi mereka tempat peristirahatan terakhir dengan layak untuk mereka. Semoga serangga-serangga itu tidak lagi menaruh dendam pada mama karena senyumannya setelah membunuh mereka sesadis tadi. Setelahnya aku mandi dan bersiap-siap.
Mama pulang persis ketika aku memakai sepatu. Wanita berambut pendek itu langsung bergegas masuk untuk menaruh kantung belanja. Tentu saja untuk melihat hasil kerjaku juga.
Karena hasil kerjaku bersih, mama memberi dua buah kue nagasari. Aku berangkat ke sekolah berjalan kaki dengan teman dekatku sejak kecil, Diro—seseorang yang amat kukenal setidaknya dari kami belum bisa merangkak. Kuberikan satu kue nagasari padanya seperti hari-hari biasanya. Begitulah pagi hariku biasanya dan hari berikut-berikutnya juga.
Ketika aku datang, Khairunnisa tak lagi duduk di bangkuku. Aku mencari-cari tasnya. Ia pasti bertukar tempat duduk dengan Kaila yang belum datang pagi itu, mereka sudah membuat kesepakatan kemarin. Diro menunjuk bangku di pojok. "Dia pindah ke sana. Itu tasnya."
"Aku duduk sama siapa ya, kamu gak mau duduk di sini?"
Laki-laki itu menggeleng cepat. Ia mengatakan lagi alasan yang telah kutahu, menunjuk ke arah matanya. "Mata aku minus. Harus di depan, setidaknya sampai Ibu bisa beli kacamata buat aku."
Aku mengangguk paham. Menatap kembali kursi kosong sebelahku. Pasti Guru akan menyuruh Fegi si anak bandel maju ke sini dan duduk denganku. Pulpen yang ia gunakan untuk dilempar ke Khairunnisa, adalah milik Jessie (yang sudah pasti akan pindah), teman sebangkunya. Kenapa aku selalu duduk dengan orang-orang yang tidak kusukai. Tahun kemarin aku sudah cukup bersabar dengan teman sebangku yang menyebalkan, sekarang aku harus bersabar lagi. Karena kali ini, aku akan duduk dengan murid tidak naik kelas, sehabis memukuli orang. Atau ada sedikit kemungkinan aku akan bersama Jessie, meski kemungkinannya lebih kecil.
Guru masuk, dan dugaanku meleset.
"Femi, pindah ke bangkunya Fegi." Wali Kelas menatapku sambil menunjuk ke kursi belakang.
Aku menunjuk diriku sendiri. "Saya?"
"Iya, kamu. Ke belakang. Biar Kaila bisa duduk di kursi kamu sama Jessie."
Aku mengangkat tas dan berjalan ke meja paling belakang, berat hati. Fegi menarik bibirnya untuk sesaat. Seperti gosip-gosipnya, ia memang menyebalkan.
Dugaanku salah, karena akulah yang datang ke sebelah bangkunya, seakan aku melangkah sendiri pada duri-duri yang siap menusukku kapan saja. Dengan penuh perasaan berat hati sekaligus kesal karena keputusan Bu Asih sebagai wali kelas, tanpa menanyai dulu apakah aku mau atau tidak. Namun, entah Bu Asih bertanya dulu atau tidak, aku pasti akan tetap iya-iya saja. Benar-benar orang tak enakan.
"Minjem." Fegi meraih tempat pensilku begitu dikeluarkan dari tas. Reflek aku merebut kembali tempat pensil biruku. Enak saja, aku kan belum memberi izin!
"Tidak." Tidakkah ia bisa bersikap lebih ramah pada teman sebangku barunya ini?
"Pulpen aku hilang." Fegi berusaha mengambil tempat pensil yang kutahan. "Minjem!" Fegi memelotot ke mataku, memasang ekspresi marah.
Aku mendekat, supaya suaraku tidak terdengar Guru. "Siapa suruh kamu lempar kemarin?"
"Mau aku lempar kamu pakai pulpen kaya bocah tukang gosip kayak dia kemarin?" geramnya. Ia menatapku tajam. Tak main-main, tangannya memperagakan aksi kemarin. "Atau orang di depanku ini?"
"Kamu mau lempar pakai apa?" tanyaku setenang mungkin. "Kamu gak punya pulpen."
Cowok itu mengocek kantung seragam, mengeluarkan sebuah karet gelang bewarna kuning tua. "Pakai ini?"
Fegi benar-benar sesuai dugaanku juga gosip-gosip tentangnya, rupanya benar 100% ia memang menyebalkan. Aku pun tak berusaha menjadi orang baik di sini, supaya ia merasa sikapnya itu sama sekali tidak baik.
"Fistuca Fegi! Diam!" Wali kelas menatap ke arah kami dengan marah. Aku ikutan kaget, karena baru kali ini ditegur Guru. "Kamu Ibu masukin BK lagi ya, hati-hati sama sikap kamu!"
Aku hanya diam menunduk, seolah-olah akulah korban dari keberisikan Fegi tadi. Di saat itulah Fegi berhasil merebut tempat pensilku, ia mendapati pulpen 'miliknya' ada di sana. Cowok itu mengatakan sesuatu yang kuabaikan. "Seperti tidak asing," ucapnya pelan, suaranya terdengar di antara suara Guru. "Kamu pencuri juga ternyata."
Bisa-bisanya ia mengatakan aku pencuri di saat pulpen itu juga buka miliknya.
Tentang mengapa bisa ada pulpen Fegi ada di tempat pensilku, itu karena aku memungut pulpen yang dilempar olehnya. Aku berniat mengembalikan pulpen itu pada Jessie sebagai pemilik asli. Namun, saat ini tidak mungkin lagi. Fegi sudah terlanjur menyukai pulpen itu, dan akan dibawanya kemana-mana. Entah di kelas, ke kamar mandi, atau ke kantin, ia selalu mengantongi pulpen itu.
Lama kelamaan pulpen bermodel tekan itu menjadi semacam senjata untuknya. Melempari, menusuk kecil, mencolok seseorang.
Di sepanjang pelajaran berlangsung, ia menekan pulpen itu tiada henti. Menimbulkan bunyi 'klak, kluk, klak, kluk' berulang-ulang kali. Membuat konsentrasiku terhempas. Kemudian ia menekan-nekan pipiku dengan pulpen itu. "Kamu menyelamatkan pulpen ini, Femi. Kalau kamu gak mencurinya, pasti sudah hilang."
Aku menepis pulpen itu. Masih diam. Fokus mengerjakan soal.
"Femi, Fegi. Kenapa nama kita mirip, ya?"
Bocah berisik, susunan jawaban nomor empat di otakku menjadi buyar. Namun, Fegi akan semakin cerewet kalau aku tanggapi.
"Absen kita sebelahan. Pasti kita bakal sering sebangku. Terlalu awal kalau kamu benci aku secepat ini, Femi." Fegi menyandarkan kepala di atas meja, aku melirik sedikit, berusaha untuk tidak melihatnya. Memilih tetap fokus.
"Kamu gak ngerjain tugas?" Meski sudah kutahan-tahan, aku tetap tidak bisa mengabaikannya begitu saja. "Kamu gak takut dimarahi Guru?"
"Sudah sering, sudah tidak takut lagi," jawabnya enteng. Kepalanya masih ditundukkan di atas meja.
"Tapi aku takut." Aku bicara sembari menatap buku-papan tulis-buku-papan tulis bergantian. "Kalau kamu dimarahi, Guru bakal marah-marah di meja ini. Aku gak bisa tenang." Fegi akhirnya mengeluarkan buku dari tas. Aku lega.
"Oke. Tapi aku lihat punyamu, ya?" Sebaiknya aku tidak pernah berekspetasi bahwa Fegi sebenarnya sedikit nurut, padahal ia selalu menyebalkan.
🌷🌷🌷
To Be Continue
🌻🌻
1061 Word
🌼
Sabtu, 9 Maret 2024
16.04Hallo! Apa kabar hari ini? Sebenernya kukira hari ini bakalan ga sempet update wattpad karena hari ini PTS terakhir pelajaran MTK lagi:( terus siangnya sidang laporan PKL, mana lagi agak sakit:( Terus inget projek ini, jadi mau cepet-cepet buka draft, poles-poles dikit, upload deh. Thanks yang sudah baca✧・゚: *✧・゚:*
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelas Dua Belas (Tamat)
Teen FictionKetika naik kelas, tujuan utama Femi adalah hidup setenang-tenangnya dan seideal-idealnya. Kalau saja ia tidak berdempetan absen dengan si nomor 11 yang ternyata anak tinggal kelas tukang rusuh dan sering bikin nangis orang. Apalagi dengan sikap par...