Posisi lapangan basket terlalu dekat dengan kelas, tanpa pagar pembatas atau jaring untuk pembatas sisinya. Membuat aku dan teman-temanku dengan berbagai jajanan harus menyebrang lapangan meski ada beberapa siswa bermain basket. Aku lewat paling terakhir, dan tepat saat itu aku terhantam bola basket, terbang persis ke sosis di tanganku, membuat terpental dan sausnya bercecer ke rok putihku. Aku berdesis sedikit, tidak ada kata maaf kuterima, aku mengabaikan sosis bakarku dan berlari ke toilet. Kusuruh temanku pergi ke kelas tanpa aku. Dengan rok basah dan noda saus jingga, aku ke kantin untuk membeli dua eskrim. Untuk mendinginkan mood. Kemudian duduk di pinggir lapangan basket depan kelas, kali ini aku menyebrang dengan baik. Tidak lagi ingin bergabung dengan teman-temanku. Karena tiga hari ini aku masih diam soal kejadian di ruang BK tiga hari lalu yang mereka ingin tahu.
Fegi keluar dari kelas, duduk di sebelahku tanpa alasan. Setelah tiga hari ia tidak masuk sekolah, hari ini ia kembali seperti biasanya. Tanpa mata bengkak berairnya. Tanpa ada yang berubah. Tiga hari aku duduk sendirian. Ada yang mencoba duduk di sebelahku, tapi kuusir ketika mereka mulai bertanya-tanya kejadian tiga hari lalu. Mengabaikan Fegi, aku membuka eskrim pertama, rasa cokelat.
"Gimana rasanya tanpa aku tiga hari?" tanyanya tiba-tiba.
"Biasa saja. Kamu trending topic seperti biasanya. Selalu ada kamu di setiap pembicaraan, membosankan."
Fegi membuatku menatapnya karena ia menekan-nekan pulpen pada lenganku. "Aku mau itu." Ia menunjuk es krim stroberi di sebelahku. Aku hanya memberinya begitu saja. Lagi pula aku sudah merasa dingin dengan satu eskrim.
Setelahnya ia diam. Kemudian berbicara lagi, "Kamu pacaran ya sama Diro?"
Aku menyanggah langsung. "Enggalah. Kami cuma temen."
"Padahal kamu juga trending topic. Kamu sama Diro udah temenan dari kecil, Diro juga suka sama kamu. Sekelas tahu kecuali kamu." Fegi mengangkat kaki santai. "Masa iya kamu gak sadar, sih?"
Aku membuka mata lebar. "Diro? Suka sama aku?"
"Dia sendiri yang bilang."
Responku hanya tertawa. "Berita kayak gitu emang wajar sih. Tapi dia gak mungkin suka sama aku. Selama kamu libur ngapain, masih sempet nyari gosip?"
Fegi menggigit es krim. "Cuma denger doang. Setelah tiga hari diskors, aku lebih suka di sekolah. Di rumah enggak ada yang bisa aku usilin."
"Mama kamu bilang kemarin, tingkahmu sama saja kalau di rumah." Tiga hari lalu, Mama Fegi juga dipanggil ke sekolah. Beliau wanita yang beda sekali sifatnya dengan sang anak. Baik, lembut, dan tidak ragu untuk meminta maaf duluan berkali-kali. Aku bingung sifat pemarah Fegi didapat dari mana. "Kamu pernah gak dimarahi Mama? Kalau aku lumayan sering."
"Jarang. Sama Ayah juga jarang." Fegi lagi-lagi menggigit es krim tanpa terlihat ngilu. "Kamu pasti mau bilang aku gak mirip sifatnya sama Mama. Mama aku seperti apa yang kamu kira."
"Ya sebenernya kamu memang serem, sih. Aku masih takut sama emosi kamu. Tapi kalau dari dekat, dan ngobrol baik-baik, ternyata gak sejahat itu. Seperti orang pada umumnya." Aku tiba-tiba tertawa garing. "Tapi kamu memang 'orang' sih ya. Maaf, aku salah kira. Kupikir kamu bisa setenang waktu itu karena kamu sudah terbiasa. Aku yang sering dimarahi Mama saja gak bisa berhenti takut."
Fegi mendengarkan aku saksama, es krimnya sudah habis duluan. Sedangkan punyaku meleleh tanpa sadar. "Kemarin kamu takut? Ibu Aska memang serem sih." Ia tertawa, matanya kelelep saat itu juga. Kalau di saat kalem seperti ini, ia sangat berbeda dari dirinya yang melempar pulpen ke Khairunnisa, atau saat melempar botol minum Naila. Rasa senang bisa melihat dua sisi manusia sekaligus, menyusup padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelas Dua Belas (Tamat)
Teen FictionKetika naik kelas, tujuan utama Femi adalah hidup setenang-tenangnya dan seideal-idealnya. Kalau saja ia tidak berdempetan absen dengan si nomor 11 yang ternyata anak tinggal kelas tukang rusuh dan sering bikin nangis orang. Apalagi dengan sikap par...