Aku Lebih Buruk dari Semut

41 16 0
                                    

       "Keluarganya baik-baik saja," kata Jessie sembari memelankan suaranya, di antara lingkaran gosip siang ini. Ekspresinya seakan tahu banyak tentang Fegi. "Tapi kenapa dia sepemarah itu, ya?"

Aku menyimak, begitu pula tiga temanku yang lain. Ikut bingung. Karena bagi kami, anak tidak naik kelas itu tidaklah umum sama sekali. Apalagi dengan sikap pemarahnya yang bisa saja melukai kami, terutama anak-anak perempuan. Keselamatan kami terancam.

"Pulpen kamu ada sama Fegi," ucapku sembari menyeruput es teh di dalam kantung plastik.

"Gak apa-apa. Biarin. Aku bisa beli lagi."

Aku mengangguk, pasti Fegi akan marah besar kalau pulpen itu malah balik ke pemilik aslinya.

Naila menyelesaikan kunyahan batagor sebelum bertanya, "Kamu gak apa-apa? Hati-hati loh. Lagian Bu Asih aneh banget, harusnya Fegi sebangku sama anak cowok. Soalnya dia kan beraninya sama cewek-cewek doang. Eh, tapi bakal lebih ribut kalau sesama cowok, deh."

Selama dua hari ini sih, tidak ada apa-apa antara aku dan Fegi. Fegi juga tampaknya tidak akan mengganggu jika tidak terganggu. Bahkan ketika aku ketahuan mencuri benda kesayangannya, ia tidak sampai bersikap kasar. Berisik saja sih. "Engga, menurut aku dia tuh, cuma... aneh?"

"Kenapa, eh, mungkin aja dia sakit mental?" Naila bertanya lagi. "Kalian tahu Oppositional Defiant Disorder, gak? Yang disingkat ODD, kayaknya sih dia punya ODD makanya gak bisa ngendaliin emosinya sampai tinggal kelas gitu."

Dibanding dengan teman-teman yang lain, Naila ini memang teman yang paling dekat denganku sejak tahun pertama sekolah. Kami istirahat bersama, kerja kelompok bersama, saling bertukar catatan. Ia memang teman yang pintar sekaligus baik untukku. Aku jadi menyesal tidak datang lebih awal ketika hari pertama sekolah, dan melewatkan kesempatan untuk bisa sebangku dengannya di baris terdepan.

"Hmm, mungkin saja. Tapi kan, gak bisa mendiagnosis sendiri. Sejauh ini tingkahnya kayak ganggu doang, sih. Menurutku gak apa-apa," jawabku sedikit tidak yakin dengan ucapanku sendiri. Karena aku tidak tahu banyak tentang Fegi. "Tapi, aku gak apa-apa sama sekali. Aku bakal terbiasa."

Naila mengangguk. "Untungnya bukan aku yang sebangku sama dia. Kamu kan gak pernah marah atau nangis walau diapa-apain juga."

Teman-teman yang lain setuju dengan kalimat Naila. Mengangguk-angguk.

"Malah selama aku kenal kamu, aku gak pernah lihat kamu sedih atau ngeluh, padahal pas kelas sebelumnya sebangku sama Farel terus," timpal Jessi masih sambil meremas kemasan plastik sisa jajannya. Teman-teman yang lain mengangguk. Aku terperangah untuk sesaat. Ah, ternyata begini bagaiman aku terlihat oleh mereka selama ini.

Aku yang terlihat kuat dan baik-baik saja.

Ketika itu, bel berdering, aku kembali duduk di bangku. Naila sempat ke toilet, dan gerombolan gosip tadi bubar. Kalimat terakhir dari Naila dan Jessi tanpa kusadari membekas dalam hatiku untuk waktu yang lama. Tentang aku yang tidak pernah marah dengan orang lain, aku mengakuinya. Selama aku hidup di tengah masyarakat, aku tidak pernah bertengkar dengan orang lain. Karena aku lebih suka mengalah walau aku sebenarnya keberatan.

Walau sebenarnya, aku terluka.

"Femi, ke mana Fegi?" tanya Bu Asih yang entah sejak kapan beliau sudah ada di depan kelas. Aku sedikit terkejut. "Cari Fegi, Femi."

"Saya, Bu?" tanyaku pada pernyataan Bu Asih yang sudah sangat jelas.

"Iyalah, memangnya ada Femi mana lagi di kelas ini? Cari, suruh dia ke kelas sekarang. Jam istirahat sudah selesai, bisa-bisanya dia masih keluyuran di luar." Bu Asih tampak sangat kesal. Beliau duduk di kursi dengan helaan napas keras, mungkin sudah lelah menjadi wali kelas Fegi selama dua tahun.

Sebelas Dua Belas (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang