Melewati Musim Kemarau Tanpa Kipas

26 12 2
                                    

       Aku terduduk di lantai kamar yang kukunci. Buku-buku matematika tercecer di lantai, aku bersandar di tembok. Lelah karena aku baru saja selesai latihan soal matematika untuk persiapan seleksi OSN besok. Pasti seleksi akan berjalan sengit, karena anak peringkat dua besar dari kelas A dan B akan bersaing untuk mengerjakan soal yang jumlahnya kudengar-dengar 70 buah.

Aku merahasiakan ini dari mama.

Aku tidak mau mama malah jadi berekspetasi tinggi terhadapku, apalagi kulihat ia terlampau lelah sehabis bekerja. Padahal sebelumnya aku adalah anak yang gemar bercerita banyak hal pada mama.

Ketika membuka mata, yang tidak kuingat kapan aku mulai tertidur semalam. Mama sudah tidak di rumah. Jam menunjukan pukul tujuh kurang seperempat. Aku mandi secepat kilat dan baru naik angkot pukul tujuh tepat ketika bel sekolahku berdering. Konyol memang. Apalagi keadaan jalan raya macet tak terkira. Aku mengacak-acak rambut frustasi, angkot ini juga sudah berusaha menyalip ke kanan kiri jalan. Namun, tidak ada secuil jalan tersisa.

Sopirnya pun ikut frustasi. Air mataku seperti ingin luruh ketika sang sopir mulai mematikan mesin mobil, persis dekat toko ikan grosiran. Bau amis tercium kuat. Aku menutup hidung, pasrah kehilangan harapan untuk datang ke sekolah lebih cepat.

Kepala yang tadinya penuh dengan hafalan rumus, seketika hilang begitu saja. Menjadi kekalutan. Pikiran untuk berlari sampai sekolah terlintas, tapi cepat kuurungkan. Karena masih tersisa tiga kilometer lagi. Juga, jalan kabupaten ini terbangun tanpa trotoar. Seluruh jalan kecil depan ruko semua sudah dikuasai oleh motor dan angkot-angkot.

Dahulu, kalau jalanan macet. Aku tetap akan datang tepat waktu. Berlari, menyelip, mencari celah-celah bersama Diro. Sekarang, aku hanya bertiga di angkot, hanya ada orang asing. Tanpa obrolan, tanpa tawa, tanpa peduli satu sama lain.

Momen berangkat sekolah sekarang menjadi terlalu hambar.

Kalau pindah rumah akan menyebabkan lebih banyak kesedihan, seharusnya aku tidak akan merindukan momen kecil itu.

Aku menghabiskan waktu di angkot dengan menahan tangis, memikirkan kerinduanku pada kehidupan lama sebelum datang ke rumah baru. Aku baru sampai sekolah pukul setengah sembilan. Ketika aku memasuki gerbang, suasana sudah sepi, membuat mataku mengamati objek-objek acak dan tidak sengaja menangkap percikan api di atas gulungan kabel pada atap depan sekolah.

Segera kulaporkan ke pos satpam persis di belakang tempatku berdiri. Bel kebakaran dibunyikan manual. Sekerumunan muridpun berlarian keluar. Satpam tadi berlari mengambil alat pemadam api. Dari semua kerumunan, hanya aku yang menggendong tas. Kebakaran kecil itu langsung teratasi dengan cepat.

Semua murid sudah diperbolehkan masuk kelas. Pundakku ditepuk. Fegi berjalan di sebelahku. Tersenyum mengejek. "Telat?"

"Iya, kenapa?"

"Anak paling disiplin bisa telat juga ternyata."

"Macet parah. Mana panas banget. Terus berhenti lama di depan toko ikan. Bau banget, tahu!" keluhku. Sembari mengipas-ngipas wajah dengan telapak tangan.

"Makanya berangkat pagi, dong."

Entah kenapa jawaban Fegi membuat rasa kesalku bertambah berkali-kali lipat. "Iya-iya aku tahu kalau aku harus berangkat pagi. Biasanya juga gitu, kok. Kamu tahu apa? Memang kamu tahu sedingin apa air kamar mandi jam empat pagi? Hari ini aku cuma lagi telat. Aku mau ngeluh saja kok."

Fegi mengedipkan mata cepat. Mungkin terkejut akan jawaban panjangku tadi.

"Maaf-maaf. Lagi gak mood," kataku agar Fegi tidak terdiam begitu lama.

Sebelas Dua Belas (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang