Kesepakatan Kedua

22 13 0
                                    

       "Papa sudah tidak apa-apa." Mama duduk di sebelahku yang sedang sarapan. Tidak ada meja makan di rumah ini, kami lesehan di atas karpet plastik depan televisi. "Mungkin sebulan atau dua bulan lagi sudah boleh pulang."

Sebulan atau dua bulan lagi? Kalau tidak apa-apa bukankah seharusnya bisa lebih cepat? Namun aku hanya mengangguk. Mungkin karena ada perawatan tambahan atau semacamnya. Lagi pula perjalanan dari Sumatera Utara ke Pulau Jawa tidak mudah dan murah.

"Sudah lebih dari satu semester sejak hari itu, ya. Femi."

"Iya. Waktu berasa lebih lama," sahutku. "Bagaimana dengan rencana pindah sekolahku, Ma?"

"Gak perlu. Kamu juga boleh ikut study tour besok."

Aku sebenarnya mau bertanya apakah keadaan kami sudah benar-benar bisa dikatakan membaik? Apakah aku sudah berhak untuk merasa lega sekarang? Padahal aku tahu betul, perusahaan papa angkat tangan untuk urusan ini. Hanya menanggung secuil biaya perawatan papa. Sisanya kami bergantung dari para saudara dan hasil kerja keras mama.

Namun, karena mama terlihat lebih segar dari biasanya, aku tidak sampai hati untuk menanyakannya. Obrolan kami tidak sebanyak dahulu, hanya sekedar obrolan singkat pagi hari saja. Karena mama sudah terlampau lelah karena pulang sore dan tertidur lebih awal. Aku pun tidak lagi punya banyak cerita yang ingin kuceritakan lagi. Cukup kusimpan sendiri.

Hari ini aku berangkat seperti biasanya. Mengendarai sepeda sampai dekat jalan utama, menitipkan sepeda, dan naik angkot ke sekolah. Selalu di jam dan menit yang sama agar tidak keburu macet.

Karena kejadian kipas itu, hampir semua teman sekelas menyalahkan Fegi. Semakin sering Fegi bertengkar dengan teman sekelas karena masalah sepele. Fegi emosian, teman sekelasnya keras kepala. Klop. Kalau sudah ada pertengkaran begitu aku hanya berfungsi menjadi penonton sambil ngemil. Lagi pula masalah pulpen yang Fegi pinjam hilang, sudah terlalu sering terjadi. Sudah biasa. Aku tidak mau repot-repot melerai atau membela salah satunya.

Pertengkaran yang awalnya adu mulut berubah menjadi perkelahian fisik. Saling memukul. Menarik kerah, membanting tubuh lawan. Meja-meja sekitar mereka terguling. Siswi-siswi memilih pergi ke luar kelas. Aku masih duduk dengan tenang. Kue coklatku hanya tersisa separuh. Semakin sengit, semakin seru.

Aku kira, Fegi sedang ancang-ancang untuk menendang Farel, ternyata tendangannya justru ia tunjukan ke papan tulis yang tidak bersalah.

Brak!

Papan tulis itu retak seketika. Terbelah dua. Di saat itu aku baru terperangah. Kali ini pasti sekelas akan dimarahi wali kelas yang akan datang setelah istirahat.

Bel istirahat berdering. Pak Gala sudah berdiri di depan pintu. Di belakangnya baru siswi-siswi yang tadi keluar.

Fegi dan Farel dijewer dan diseret ke lapangan basket. Disuruh berdiri di tengah terik, sambil dimarah-marahi panjang lebar. Pelajaran Bahasa Sunda hari itu terpaksa terpotong karena Pak Gala tidak memaafkan Fegi dan Farel sebelum mereka berdua berjalan jongkok sepuluh putaran dan berpelukan untuk saling meminta maaf.

Adegan Fegi dan Farel yang berpelukan kemudian viral. Jadi bahan olok-olokan sampai kami lulus.

Terpaksa kami sekelas masih merasakan tatapan galak dari Pak Gala ketika kami study tour esok harinya. Terutama pada Fegi. Ditatapnya terus Fegi di manapun. Apalagi wali kelas memang bertugas untuk mengawasi anak didiknya. Namun, kurasa Pak Gala mengkhususkan matanya melihat Fegi lebih sering.

Sampai-sampai Pak Gala sulit dicari Naila ketika ia ingin melaporkan kehilangan dompet. Atau ketika kepadatan di Museum Serangga, aku bisa melihat tubuh tinggi Pak Gala di tengah kerumunan, dan di depannya ada Fegi. Yakin sekali aku, Pak Gala takut Fegi marah dengan kepadatan kemudian memecahkan kaca-kaca berisi macam-macam serangga di sekelilingnya.

Sebelas Dua Belas (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang