Leherku tanpa sengaja, selalu menoleh ketika angkot melewati gang kecil itu. Tempat rumah kontrakanku berada. Tempat semua masa kecil kulalui dengan suka cita. Seperti pulang sekolah ini, Naila menegurku karena terbengong melihat gang kecil itu, tanpa sengaja mengabaikan pembicaraannya.
"Kamu selalu lihat apa sih, di gang itu ada apa?" tanya Naila sembari mengikuti arah mataku ke gang yang mulai menjauh. "Rumah Diro, ya?"
"Barangkali teman-teman aku keluar dari gang itu. Aku kangen mereka."
"Sama Diro juga?" Naila suka sekali membahas Diro kalau aku bercerita tentang teman-teman lamaku. "Diro suka sama kamu, kamu sadar gak sih?"
Aku diam. Menunjukan ketidaksukaanku pada topik ini. Padahal sudah kubilang Diro hanya bagian dari masa kecilku, bagian dari teman-teman di gang kecil itu. Naila sama seperti teman sekelas lain, paling semangat melihat kisah romantis dari pada genre lain.
Melihat reaksi diamku, Naila tak lagi menatapku. Mengalihkan ke depan. "Kenapa kamu terlalu menolaknya, sih?"
"Bukan begitu. Selagi aku belum mendengarnya sendiri dari mulut Diro, aku tidak akan melakukan apapun. Akan kuanggap semua rumor hanyalah rumor," tekanku tanpa mau dibantah lagi.
"Padahal kamu sebenarnya suka, kan?"
Kudiamkan Naila sampai aku tiba di gerbang perumahan. Meninggalkan rasa penasaran Naila memenuhi seisi angkot. Kenapa setiap pulang sekolah, mood langsung memburuk. Padahal di kenangan masa kecilku bukan hanya Diro. Ada si anak pemilik kontrakan 10 pintu, ada pula yang orang Minang penyuka sambal. Terus ada anak yang paling suka nonton sinetron. Masa kecilku tentang mereka. Tentang ikan-ikan peliharaan si pemilik kontrakan, tentang rasa sambal kesukaan gadis itu, dan tentang alur-alur sinetron romantis. Aku terkadang menyesali keputusan mengambil sekolah swasta, bukan sekolah negeri agar satu sekolah dengan mereka. Kalau saja aku tahu kalau kami akan terpisah secepat ini.
Aku ambil sepeda di tempat penitipan, mulai merangkai kenangan-kenangan sambil terus melaju cepat. Melupakan perkataan Naila, dan dengan cepat mengatur suasana hati untuk esok-esok harinya.
Namun rupanya hari esok tidak berjalan mulus, pagi-pagi sudah hujan sangat deras. Aku masuk angkot terkusut-kusut dengan rambut selepek rokku dan jas hujan basah di tangan. Keluhanku otomatis berubah, dari yang selalu mengeluhkan jalan berlumpur atau berdebu, sekarang kemacetan tak habis-habis. Suasana hatiku tidak lebih baik ketika sampai sekolah, dengan masih meneteng jas hujan basah, aku justru melihat Diro mengangkut tiga tas di tangannya. Di depan lorong yang selalu banjir setiap tahunnya tanpa pernah diperbaiki meski genangannya sudah mencapai betis.
"Pagi-pagi sudah jadi Hamba Sahaya, saja," ujarku ketus. "Yang Mulianya kemana?"
Diro berhenti, masih memeluk tiga tas itu. "Masih di kantin, Fem."
Aku semakin kesal dengar jawaban Diro, secara tak langsung menyetujui ucapanku tadi. "Sini, aku bantu deh. Biar dapat pahala pagi dengan membantu seorang Hamba Sahaya." Kuulur tanganku padanya. Diro menatapku sebentar, ia akhirnya menaruh dua tas di tanganku.
"Terima kasih, atas kemuliaan hatinya, Nyonya."
Kukira ia akan ikut denganku melewati lorong itu. Ternyata ia malah menyuruhku berjalan duluan karena ia harus membawa dua tas lainnya. Karena dongkol, akhirnya akulah yang terlihat jadi Hamba Sahaya di sini. Melewati lorong banjir, atap-atap bocor bak hujan dalam ruangan. Sebagian murid yang lewat justru menjadikan wahana, berlarian dan membuat hampir separuh seragamku basah terciprat air kotor. Kurasa rambutku juga sudah menjadi laksana bulu domba, kusut tak kepalang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelas Dua Belas (Tamat)
Teen FictionKetika naik kelas, tujuan utama Femi adalah hidup setenang-tenangnya dan seideal-idealnya. Kalau saja ia tidak berdempetan absen dengan si nomor 11 yang ternyata anak tinggal kelas tukang rusuh dan sering bikin nangis orang. Apalagi dengan sikap par...