"Kamu bisa nangis juga, Fegi? Kenapa kamu yang nangis?" Bu Asih bertanya meledek.
Tangan Fegi hangat ketika ia menyalamiku, aku menarik tanganku duluan. Ia segera mengusap-ngusap air matanya. Sampai membuat sekitar matanya basah.
"Aku alergi bunga. Bukan nangis," elaknya. Sambil terus mengusap air mata. Teman-teman menertawakan Fegi.
Pelajaran berakhir dengan cepat. Kerumunan bubar dan aku kembali bergabung dengan Naila saat istirahat.
Aku merasa keren ketika mereka memujiku yang tidak menangis sama sekali dan memaafkan Fegi dengan cepat. Efek tercolok pulpen lumayan menyakitkan. Mataku nyeri tiap kali berkedip. Bagian menyebalkannya adalah, mataku menjadi asimetris karena bengkak dan sedikit berair. Penampilan mataku menjadi mirip dengan mata Fegi.
Fegi melunasi denda. Di tengah keramaian suasana kantin. Sambil mengusap air mata. Tanpa kusadari, aku ikut mengusap air mata. Bersamaan. Membuat kami seolah bersedih bak dalam cuplikan film melodrama. Saling menangis pilu, berduka dan merayakan perpisahan paling mengharu biru di dunia. Tangan kanan yang memegang uang jadi kukepal lebih erat.
Fegi nyengir kuda. Mulai tertawa melihat konyolnya kami di tengah kerumunan. Aku juga tertawa sambil memukul pundaknya. "Kita impas, ya."
Aku memaafkan, juga tidak marah padanya. Kuyakin ia tidak sengaja.
Waktu berlalu sejak itu. Ujian tengah semester juga telah kami lewati. Sebagaimana tebakanku, selama ujian kami sebangku. Setelah mengerjakan ujian, kami kembali mengobrol panjang lebar. Setelahnya kegiatan sekolah seperti biasa.
Fegi masih dengan keusilannya. Terakhir kali ia mengikat tas Farel di pohon beringin depan kelas. Pertengkaran sudah pasti terjadi. Seperti sebelum-sebelum dan setelah-setelahnya. Keusilan Fegi terus berlanjut.
Tiba musim kemarau berahir. Cuaca akan panas hingga siang hari, hujan akan turun siang atau sore harinya.
Awal-awal musim hujan, kelas kami kedatangan siswa baru lagi. Seorang anak laki-laki pengidap sindrom tourette atau tics. Badannya kurus, kulitnya coklat muda, dan matanya seperti tidak bisa berfokus pada satu titik. Dari awal, aku sudah khawatir padanya. Takut-takut ia menjadi sasaran perundungan oleh teman-teman sekelasnya sendiri. Kukatakan pada Diro dan Fegi agar tidak ikut-ikutan menyerangnya. Mereka hanya iya-iya saja.
Benar dugaanku. Pada hari ketiga, ia jadi duduk sendirian karena teman sebangkunya tidak nyaman dengan gerakan serba mendadak Bandi. Akhirnya secara khusus sekolah menambahkan satu kursi untuknya di barisan paling belakang. Geng Farel dan Hafis mulai meledek ia dengan istilah, "Bansut" kependekan dari "Bandi Kesetrum". Aku iba tapi tak bisa berbuat lebih. Ketika Fegi iseng menyembunyikan buku tulis matematika Bandi, aku menegur agar Fegi tidak perlu bersikap iseng pada Bandi.
Kebencian teman sekelas pada Bandi menjadi-jadi ketika ia tak sengaja menumpahkan sebotol air teh milik Farel karena gerakan tiba-tibanya. Farel membentak, memukulnya bertubi-tubi tanpa peduli suara Bandi mengucapkan maaf berkali-kali. Suara tawa mendominasi ruangan.
Karena Bandi mulai menangis, suasana semakin tak nyaman. Naila si ketua kelas saja diam. Aku berdiri memegang pena erat-erat, mulai menyusun strategi untuk membuat Farel berhenti.
Kaki kananku di depan, aku memutar tubuh dari belakang dan melempar pulpen bak seorang atlet lempar lembing.
Klak!
Suara itu membuatku puas. Namun aku tidak tersenyum, atau menunjukan ekspresi apapun. Farel meringis kesakitan, memegangi pelipisnya.
Semua pasang mata menatapku kaget.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelas Dua Belas (Tamat)
Teen FictionKetika naik kelas, tujuan utama Femi adalah hidup setenang-tenangnya dan seideal-idealnya. Kalau saja ia tidak berdempetan absen dengan si nomor 11 yang ternyata anak tinggal kelas tukang rusuh dan sering bikin nangis orang. Apalagi dengan sikap par...