Kue Pai Kiwi

39 17 0
                                    

Kesepakatan kami berjalan dengan sendirinya. Seiring waktu, kami bisa berteman. Seperti hari ini, ketika ia membantuku membawa banyak buku dari ruang Guru. Walau tadinya aku paksa. Ia sedikit mengeluh, tapi ia tetap membantuku. Setelah memastikan setumpukan buku-buku sudah berada di meja Guru di kelas, ia langsung duduk tanpa mengusili manusia lain terlebih dulu.

"Buku-buku yang tadi itu, PR apa?" tanyanya. Aku menoleh ke arahnya. Tumben pertanyaannya seputar PR.

"PR Bahasa Indonesia minggu lalu. Mau dikoreksi bareng-bareng."

Fegi mengangguk-angguk, membuat rambut licinnya bergerak naik turun. "Aku belum."

"Kenapa santai banget sih? Cepet kerjain, cuma pilihan ganda 15 soal kok, sebelum Guru dateng. Aku bantu." Hari ini jangan sampai omelan Guru kepada Fegi membuat suasana hatiku buruk. Karena hari ini mama membawakan kue pai kiwi dua buah kesukaanku dari warung Mbak Nin. Bahkan hari ini aku tidak berbagi kue enak itu dengan Diro seperti hari-hari biasanya.

Fegi menurut. Membuka buku, dan pulpen kesayangannya. Sesuai perkataanku, aku membantunya separuh dari total keseluruhan soal. Berkatku, hari itu Fegi mengumpulkan tugasnya. Aku ikut lega. Ia berkata seusai bukunya sudah terkumpul, "Hatiku sekeras batu."

"Ya? Kamu lagi mengakui sesuatu?"

"Itu memangnya majas simile? Kok kayak janggal." Fegi meragukan sesuatu. Alisnya bertaut, ia memiringkan kepalanya. "Kayaknya jawaban kamu salah di nomor sembilan tadi, Fem."

Aku baru ingat hal itu. Rupanya aku punya satu kesalahan di sana. Kenapa aku bisa setidakteliti itu. Padahal aku ingat jawaban yang benar itu harusnya B, kenapa aku centang pilihan C.

"Kamu kok bisa sadar?"

"Aku ngintip buku Yeremia di sana. Hehe." Ia tertawa. "Gak apa salah satu doang."

"Tapi, itu lumayan, Fegi."

"Yasudah kamu ambil buku kamu, terus kamu benerin jawaban nomor sembilan," sarannya. "Sebelum Guru datang."

Terlambat, Guru datang tepat Fegi mengatakan itu. Hal kubenci adalah ketika aku salah di pertanyaan yang mudah. Fegi meledekku. "Nilai kita nanti sama. Thank you, Femi...."

Aku diam. Soal nomor 9 membuatku gelisah. Guru membagikan buku secara acak.

Fegi masih menggodaku, "Perfeksionis kalau salah pasti rasanya kayak ninggalin kompor menyala di rumah."

Aku menginjak sepatunya dengan sengaja. "Diem. Berisik, tau gak?"

Fegi sama sekali tidak mengalah, ia balik menginjak sepatuku. Aku melotot ke arahnya. "Dasar! Sepatu aku baru dicuci!" Ia mengayunkan pulpen ke arahu tapi malah tidak berhasil mengenaiku. Pulpen itu menggelinding di lantai.

"Bodo amat."

Suara riuh kami terdengar seisi kelas. Mereka menyuruh kami diam. Aku membungkuk mengambil pulpen Fegi di lantai. "Lempar sekali lagi, aku yang bakal patahin pulpenmu," kataku berbisik tepat di telinganya. Pulpennya kudorong dengan penekanan. Mood-ku sudah sangat buruk.

Ketika akhirnya kami memulai mengoreksi, Fegi sempat menggangguku dengan meminjam tip-ex, membuatku sempat tertinggal, dan setelahnya tiba kami menyebutkan nilai-nilai milik orang yang kami koreksi. Nama Fegi dipanggil dan seseorang yang mengoreksi menyebutkan angka 96. Hampir seisi kelas terkejut, spontan menatap Fegi, terheran dengan nilai tinggi Fegi. Namun, Fegi hanya menyeringai, bangga.

Ketika giliran Guru memanggil namaku, ternyata, Fegi yang menjawab, "Seratus, Bu."

Fegi masih sulit kutebak.

Di bukuku, ada coretan tip-ex yang meralat jawaban salah. Nomor 9. Di sebelah kiriku, Fegi dengan tenang dan jari yang terkena cairan tip-ex, ia mengembalikan bukuku. Tak lupa mata sipitnya tenggelam karena senyum, hidupnya lebih tenang dari pada aku.

"Sudah mati, kan kompornya sekarang?"

Aku mengambil satu kue pai di kolong meja, kudorong kue itu ke arahnya.

Ia melihat kue itu sekilas. "Sogokan?"

"Bisa jadi?" jawabku datar. Fegi mengambil kue itu dengan senang hati. Kemudian menaruhnya di kolong mejanya. Kami hanya saling diam ketika Guru mulai mengajar, dan masing-masing keluar ketika jam istirahat tiba.

Naila, Jessie, Khairunnisa, dan Anindia datang mengajakku ke kantin bersama. Aku mengangguk hangat. Kami berjalan sembari memikirkan makanan apa yang harus dibeli hari ini? Naila mengeluh dengan botol minumnya sekaligus mengonfirmasi kejadian yang sudah kutahu dari pelakunya langsung. "Kemarin aku kan mau minta air dingin ke kantin, terus aku ke toilet dulu. Jadi aku taruh di tempat cuci tangan botol minumnya. Terus, setelah aku keluar, Fegi yang entah dari mana tiba-tiba ngomel-ngomel gak jelas terus ngelempar botol minum aku ke dinding. Pecah, aku kaget banget. Orang itu kayaknya emang sakit jiwa."

"Terus-terus, dia ngomel tentang apa?" tanya Jessie antusias.

Naila menatap ke atas, mengingat dan menyusun kalimat. "Dia bilang, duh aku lupa detailnya karena aku kaget, tapi intinya gini, 'SEMUA ORANG PENCURI, MALING, PERAMPAS! DASAR KAMU ANAK BODOH!' aku gak tahu kenapa dia bilang begitu, tapi dia keliatan marah banget."

"Kamu dikatain bodoh?" Khairunnisa menutup mulutnya, terkejut. "Kamu yang ranking satu berturut-turut? Fegila banget orang itu. Fem, menurut kamu gimana?"

Aku yang mendadak ditanya seperti itu, gelagapan. "Aku? Menurut aku... gimana ya?"

"Iya, temen kita jadi korbannya Fegila. Karena Naila orang yang pemaaf, jadi dia gak lapor ke Guru sama sekali, iya kan?" Jessie bertanya pada Naila yang mengangguk.

"Bahkan aku sendiri yang beresin pecahan kacanya." Naila tampak bangga dengan kemurahan hatinya. Bagaimana kalau Naila tahu bahwa ada aku di alasan Fegi mendadak marah seperti itu?

Kami tak menghentikan pembahasan ini sambil memilih gorengan di hadapan kami. Sembari memotong-motong bakwan, aku menjawab pertanyaan Khairunnisa tadi apa adanya. "Menurut aku, dia gak seburuk itu. Tempramennya aja yang lebih buruk dari kita. Sudahlah kita ke topik lain saja."

Meski teman-temanku tadinya ingin bertanya lebih banyak maksud ucapanku barusan, tapi karena kondisi kantin yang ricuh dan ramai, aku dengan mudah dapat membelokkan pembicaraan. Membicarakan orang yang baru saja kuberi kue pai kiwi membuatku tidak enak hati. Obrolan kami pun menjadi obrolan seputar sekolah kami pada umumnya.

Usai jam istirahat, aku kembali duduk dengan tenang di kursiku sembari membuka bungkusan kue pai kiwi, yang hampir kulupakan. Menjadikannya makanan penutup. Aku harusnya bisa menikmati kue itu dengan hati-hati kalau saja tidak tiba-tiba mendengar berita pertengkaran Fegi dan teman sekelasnya dulu; yang sekarang kakak kelas kami.

Seisi kelas lantas mengintip dari jendela. Aku memilih tak peduli. Tidak ingin tahu, memilih menikmati kue saja. Terdengar suara riuh dari luar. Tak lama, suara bangku sebelahku ditarik. Tepat ketika kue ku habis.

"Kenapa lagi?" tanyaku spontan. Matanya memerah, seperi orang menangis. Aku yakin ia habis dipukuli dan memukuli habis-habisan di bagian tangan. Ada banyak goresan dan debu-debu menempel pada lengan kanannya. Ia mengabaikan pertanyaanku, ia membuka bungkusan kue pai kiwi, dan memakannya dengan santai.

Aku memilih menyelesaikan buku dongeng Hercules yang baru kubaca seperempat. Caraku untuk abai pada semua pasang mata yang melihat ke arah kami. Aku sudah membaca setengah dongeng ketika Fegi menekan pundakku dengan pulpen. Membuat mataku bertemu dengan matanya yang memerah, dan berair deras. Rupanya ia bisa menangis juga.

"Aku alergi bunga," ucapnya sambil menitikkan air mata. Terbersin-bersin.


🍀🍀🍀
To Be Continue
🌷🌷
1062 words
🌼🌼
Senin, 11 Maret 2024
12.59

Sebelas Dua Belas (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang