Angan-Angan yang Terlupa

35 13 1
                                    

 sambil dengerin lagunya👆 

***

   Seminggu setelah study tour, kami terus menjalani kehidupan sekolah seperti biasa. Dengan papan tulis berlakban, kipas angin mati, dan Pak Gala yang semakin galak. Namun, hari ini, lima belas menit setelah bel masuk berbunyi, Pak Gala tak kunjung masuk. Aku menengok ke bangku sebelahku, berkali-kali. Kosong. Fegi belum datang juga. Pasti Fegi akan dimarahi Pak Gala kalau ia ketahuan terlambat. Aku menunggu Fegi sambil membaca buku.

Pintu kelas yang memang sudah terbuka separuh, terbuka lebar. Aku membalik badan untuk bisa melihat siapa yang membuka pintu. Bukan Fegi, tapi Pak Gala.

Kurasa Fegi tidak masuk hari ini.

Pak Gala berjalan sampai di depan kelas. Beliau tak langsung menyuruh murid berdoa bersama, justru mengatakan sesuatu, "Fegi sudah bukan bagian dari kelas ini maupun siswa sekolah ini lagi. Dia sudah dikeluarkan dari sekolah. Jangan pernah menanyakan alasannya, tolong apapun alasannya cukup dijadikan pelajaran saja. Jaga sikap kalian."

Langsung seisi kelas menatap kursi di sebelahku. Saling berbisik, ikut penasaran apa penyebab ia dikeluarkan dari sekolah. Namun, Pak Gala meminta mereka diam dan memulai pelajaran hari ini.

Aku menatap lama meja kosong Fegi. Kukira kami akan lulus bersama. Kukira kami akan menjadi chairmate sampai lulus. Rupanya tidak. Fegi pergi tanpa pernah mengucapkan apapun, tanpa pernah menjelaskan, tanpa pernah kutahu di mana ia setelah ini. Menyisakan pertanyaan besar dalam benakku untuk waktu yang lama.

Walau ia menyebalkan, mengganggu, dan sering membuat kegaduhan. Namun, tetap saja separuh mejaku terasa kosong, hampa, tanpa ada Fegi dan pulpen kesayangannya, atau cerita ikan-ikan peliharaannya. Perasaanku seperti kosong untuk beberapa waktu sampai terbiasa duduk sendirian di bangku belakang. Karena semakin lama, hubungan dengan teman sekelas juga tidak seseru dahulu. Semenjak kelas terbagi menjadi beberapa lingkaran pertemanan yang tidak ada aku di dalamnya.

Butuh waktu untukku terbiasa sendirian. Ketika aku tidak lagi peduli di manapun kelompok tugasku, atau bersama siapa aku harus saling menyapa. Karena semakin ke sini, semakin lama waktu yang kuhabiskan di meja sendirian, sembari bersandar dan selonjorkan kaki, atau membaca buku fiksi seharian. Semakin membuatku biasa saja.

Terkadang, aku berlatih depan cermin tentang bagaimana aku memanggil nama Fegi kalau bertemu nanti. Tentang apa yang harus kukatakan nantinya, atau pertanyaan apa yang akan kutanyakan. Padahal kutahu peluang kami bertemu hanyalah 0,0005% meskipun kami satu perumahan berpopulasi kurang lebih 200.000 orang.

Begitu aku menghabiskan masa sekolah sampai waktu-waktu berikutnya. Sampai lama-kelamaan aku pun melupakan cita-cita tidak realistisku menjadi seorang dokter, dan menjalani hidup biasa-biasa saja. Padahal dahulunya aku adalah orang penuh ambisi.

Aku perlahan melupakan ambisi dan angan-angan.

Waktu berjalan cepat, aku lulus sekolah dengan nilai biasa-biasa saja. Bekerja di perusahaan yang biasa-biasa saja juga. Iseng kursus bahasa dan menjahit, menjadikanku seorang Guru Bahasa Inggris untuk siswa taman kanak-kanak. Sambil melanjutkan pendidikan kuliah jurusan pendidikan ekonomi akuntansi.

Ini aku sekarang, seorang Guru TK.

Aku sudah lulus kuliah tahun lalu, peluang-peluang karir lebih baik sudah terbuka amat banyak, tapi aku memutuskan untuk terus menjadi Guru TK dan malah membuka jasa menjahit di rumah. Tidak nyambung sama sekali. Ilmu akuntansiku hanya terpakai untuk menghitung sisa uang gaji, atau pendapatan kecil dari mesin jahitku. Sebagian besar waktuku dihabiskan untuk membuat baju. Baju estetik sesuai selera diri sendiri karena hanya akulah yang akan memakainya.

Sebelas Dua Belas (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang