Kutatap rumah kontrakan kecil tempatku tumbuh dengan perasaan berat. Di sana sudahku habiskan masa-masa kecil menyenangkan. Tempatku bermain, berkumpul, tertawa riang bersama tetangga-tetangga yang seumuran denganku. Kuberi teman-temanku sebuah pelukan terakhir. Aku mendapat satu hadiah dari mereka; seekor ikan hias kecil.
Diro dan ibunya diajak ke rumah baruku. Ia tidak tampak sedih, justru senang karena aku akhirnya punya rumah lebih bagus dari pada sebelumnya. Sebelum pulang, ibunya memberikan sebuah bingkai foto berbentuk kepala Hello Kitty.
"Pajang di dinding biar gak kosong-kosong banget." Kemudian Diro melambaikan tangan padaku. Mobil dikendarai ibu Diro melaju.
Setelahnya kehidupanku di rumah baru tidak begitu berubah banyak. Aku berkenalan dengan tetangga-tetangga satu gang. Ada tiga orang seumur denganku. Mereka baik-baik, aku pun beradaptasi lebih cepat daripada dugaan. Berkat teman-teman baru.
Hanya ada rutinitas asing dalam pembiasaan baru; aku harus bangun lebih pagi lagi, karena aku harus mengayuh sepeda sampai gerbang perumahan, kemudian naik angkutan kota.
Berita kepindahanku menyebar di kelas. Karena itulah Naila dan aku berangsur-angsur kembali berteman. Ia yang mengajak untuk naik angkot bersama-sama. Walau angkot panas, sempit dan terasa menyebalkan terkadang, tapi semua itu tidak begitu terasa karena obrolan aku dan teman-teman seangkot sejalurlah yang selalu membuat suasana menyenangkan.
Ketika Fegi tahu kalau aku pindah ke perumahan X, matanya melebar seketika. "Kita seperumahan sekarang." Kemudian ia tertawa. "Kenapa ada kamu terus, sih."
"Beneran? Kamu blok apa? Aku blok D-X no 17."
Belum sempat Fegi menjawab, Guru masuk kelas. Perkataan Fegi hari itu tidak pernah berlanjut sampai kapanpun. Aku juga tidak lagi menanyakannya. Aku hanya tahu kami satu perumahan. Pelajaran kali ini menyangkut ilmu alam. Kami praktek merawat tanaman dari awal. Seperti biasa, kelompokku kali ini lumayan ideal sebelum Fegi dimasukkan ke kelompok kami.
"Siapa yang belum kebagian kelompok?" tanya Bu Jia. Fegi mengangkat tangan. "Kamu doang, ada lagi?"
Seisi kelas menggeleng. Kecuali Bandi. Ia juga belum dapat.
"Siapa yang mau Fegi dan Bandi dimasukkan ke kelompok kalian?"
Sunyi. Siapa yang mau Fegi bergabung dengan perilaku menyebalkannya itu? Padahal aku berusaha untuk tidak berkontak mata dengan Guru. Pura-pura tidak tahu.
"Fegi sama Bandi masuk ke kelompoknya Femi, ya? sepakat?"
Teman sekelompokku terlihat sebal. Namun, tidak membantah lagi. Kurasa mereka tidak akan mengajakku lagi kedepannya, karena di mana ada aku selalu ada Fegi. Fegi tersenyum senang, matanya menyipit.
Kegiatan menanam dimulai kami sekelas keluar ke taman kecil samping sekolah. Setelah diteliti, rupanya ada satu anggota kelompokku tidak masuk sekolah, padahal barang yang ia bawa sangat penting; pupuk. Aku berpikir cemas. Apa jadinya tanam-menanam tanpa pupuk?
"Gimana ya kalau gak ada pupuk. Kalau kita minjem pupuk ke kelompok sebelah?" tanyaku. "Mereka pelit gak sih sama kita?"
"Aku saja yang mintain." Fegi menawarkan diri secara tiba-tiba. Berjalan ke semua kelompok. Kulihat ia beberapa kali dimarahi Guru karena mondar-mandir dan ditertawai beberapa orang. Tak lama ia kembali dengan seplastik pupuk. Senyum menggaris di bibirnya. Mata sipitnya begitu menggambarkan kebanggaan karena berhasil.
Fegi jadi merasa amat berbangga diri. Alhasil sisa pekerjaan menanam sosor bebek tak ia sentuh sama sekali. Anak itu hanya duduk seakan melihat bawahan-bawahanna bekerja. Karena kesal, Vani melempar seonggok pupuk ke wajah songong Fegi. Pertengkaran kecil tak terelakkan dan menjadi backsound pekerjaan kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelas Dua Belas (Tamat)
Teen FictionKetika naik kelas, tujuan utama Femi adalah hidup setenang-tenangnya dan seideal-idealnya. Kalau saja ia tidak berdempetan absen dengan si nomor 11 yang ternyata anak tinggal kelas tukang rusuh dan sering bikin nangis orang. Apalagi dengan sikap par...