"Rumah ini seolah hanya layak disebut sebagai bangunan untuk berteduh dari badai, bukan tempat berkumpul dengan orang tersayang untuk berbagi kehangatan."
Sepasang orang berbeda gender terlihat tengah menikmati waktu di sebuah kedai. Santapan kue stoberi tersaji di hadapan mereka.
"Kenapa kamu tidak ikut makan?"
"Tidak. Kamu saja yang habiskan."
Seorang gadis melangkah memasuki ruangan luas yang begitu sepi. "Hah... sungguh menyedihkan hidup seperti ini," gumamnya.
Kedua mata itu terbuka melebar. Lagi-lagi mimpi hitam putih yang selalu menghampirinya. Gadis itu mencoba mengumpulkan seluruh kesadarannya dari bunga tidur. Ia merasa begitu lekat dengan setiap adegan yang muncul dalam mimpinya. Ia yakin jika itu pasti kepingan dari ingatannya yang hilang. Hanya saja apa yang ia lihat dalam mimpi terasa begitu berbeda begitu ia membuka mata. Ia seolah kembali merasakan sesuatu yang asing kembali. Bahkan kepingan-kepingan mimpi itu selalu tampak kabur. Ia tidak dapat mengingat jelas wajah orang-orang yang hadir dalam mimpinya.
Alana bangkit dari posisi tidurnya. Ia masih mencerna mimpi yang dialaminya beberapa waktu terakhir. "Aku yakin jika itu bagian dari ingatanku. Tapi, aku masih tidak dapat mengingatnya dengan jelas," gumamnya.
Gadis itu berusaha menepis pikiran yang telah menemuhi benaknya pagi ini. Ia beralih bangkit menghampiri jendela kamar tidurnya. Udara pagi yang segar menyerbu masuk begitu jendela terbuka. Sebuah kepala melongok keluar menyapa pagi yang datang. Alana tersenyum lebar menyaksikan semburat cahaya mentari pagi mulai muncul.
Ia berlalu menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Setelah membasuh wajahnya, ia berpapasan dengan bapak yang baru saja keluar dari kamar tidur.
"Selamat pagi, Bapak," sapa gadis itu.
"Selamat pagi. Jadi, apa agenda kita hari ini?" tanya pria itu sembari menuangkan air minum ke dalam gelas.
Alana balas menatap dengan bingung. Memang apa yang akan mereka lakukan hari ini? Seingatnya ia tidak memiliki rencana apapun dengan orang tuanya di akhir pekan ini. Pria itu meletakkan kembali gelasnya yang telah kosong ke atas meja.
"Kita biasa pergi setiap akhir pekan. Apakah kamu melupakan kegiatan rutin dengan bapak?" tanya pria itu. Gadis itu memang masih merahasiakan tentang hilang ingatannya. Ia hanya merasa tidak ingin membuat orang tuanya khawatir. Apalagi hanya bapak seorang yang ia miliki.
"Oh, tentu saja tidak. Bapak ingin melakukan kegiatan apa hari ini?" tanya gadis itu menampilkan wajah antusiasnya.
"Bagaimana jika kita piknik di taman?"
"Setuju! Ide yang bagus!"
Bapak dan anak itu saling tertawa bersama setelah memutuskan dengan mudah rencana hari ini. Mereka pun segera bersiap-siap untuk piknik di taman kota. Tidak banyak hal yang perlu disiapkan. Hanya sebuah tikar dan beberapa makanan ringan yang dibawa.
Suasana taman saat akhir pekan sangat ramai. Banyak orang-orang yang menghabiskan hari di taman kota. Ada yang tengah berolahraga, piknik, atau sekadar bercengkrama ria sembari menikmati jajanan yang disajikan di pinggir jalan. Taman kota di daerah tempat Alana tinggal memang terkenal dengan keramaiannya. Taman ini memiliki pemandangan sungai yang indah dilengkapi area taman yang luas memudahkan untuk bermain-main.
Alana menggelar tikar di sebuah tempat rindang di bawah pohon. Lantas makanan ringan yang dibawanya dikeluarkan dari dalam keranjang. Minuman pun turut disajikan dalam gelas masing-masing. Bapak tampak sangat senang dengan agenda piknik hari itu. Alana dapat melihat wajah bahagianya yang terlihat jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
BITTERSWEET ✔️ | END
Teen Fiction[DALAM PROSES PENERBITAN] Dalam 17 tahun hidupnya, Alana tidak pernah memikirkan jika petualangan yang luar biasa akan dirasakannya. Semua yang ia rasa begitu kenal, rupanya sangat asing. Ia merasa jika kehidupan manis yang didambakannya hanyalah bu...