"Hah... Sungguh menyedihkan hidup seperti ini."
"Alana ga akan hilang, Adrian. Biasa aja lihatinnya."
"Pejamkan matamu dan ucapkan sebuah permintaan."
"Kalau kamu diam saja, aku tidak akan pernah tahu bagaimana perasaanmu sesungguhnya."
Sebuah ingatan hitam-putih berkelebat silih berganti. Pemadangan yang mengabur dengan wajah orang-orang yang tak begitu jelas terputar layaknya film dokumenter. Gadis itu membuka mulutnya seolah ingin mengatakan sesuatu. Namun, tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Sepersekian detik, ia merasa begitu sesak. Pasokan oksigen dalam paru-parunya terasa menipis.
Tolong... Di mana ini?
Adegan yang bagaikan potongan film itu terus terputar. Kegelapan yang menyelimutinya membuatnya tak dapat menemukan siapapun di sana, sementara napasnya semakin tercekat.
Tolong... Aku kesulitan bernapas...
Ia mencoba berlari mencari jalan keluar. Layaknya terjebak dalam sebuah labirin, semakin berlari ia justru semakin kehabisan napasnya. Gambar-gambar dan suara yang bergema itu memenuhi setiap sudut. Ia tidak tahu ke mana harus berlari untuk menemukan pintu keluar.
Aku ingin hidup.
Tiba-tiba gelombang air datang entah dari mana asalnya. Air itu menyapu lembut kakinya. Semakin lama, permukaan air itu meninggi. Ia kebingungan dengan apa yang terjadi. Air itu mulai mencapai lututnya. Ia tampak panik dan berusaha berjalan membelah lautan yang tercipta.
Tangannya menari-nari layaknya berusaha menyingkirkan air yang mulai mencapai bahunya. Napasnya tersenggal seiring air itu terus naik. Hingga akhirnya air itu berhasil menelannya lebih dalam.
"Hah... Hah... Hah..."
"Pasien, apakah Anda sudah sadar? Apakah Anda dapat mendengar saya?"
Orang yang terbaring di atas ranjang rumah sakit itu mengerjapkan matanya berulang kali. Langit-langit asing berwarna putih menyambutnya begitu kedua matanya terbuka. Matanya sedikit bergeser ke samping menatap seseorang yang sepertinya tengah berbicara kepadanya. Dari penampilannya yang mengenakan seragam berwarna putih dapat diketahui jika ia seorang perawat. Suara yang dikeluarkan perawat itu terasa berdengung di teilinganya.
"Dokter! Pasien Alana sudah sadar."
Perawat itu memanggil seorang dokter yang tengah berada tak jauh dari ruang unit gawat darurat itu. Sosok pria berjas putih dengan stetoskop yang menggantung di lehernya melangkah mendekat ke bilik pasien itu. Ia memeriksa keadaan orang itu yang masih terlihat linglung dengan sekitarnya.
Setelah melakukan pemeriksaan, gadis yang mengenakan seragam sekolah itu duduk bersandar pada bahu ranjang. Raut wajahnya mengatakan jika ia tengah berpikir keras memahami apa yang sebenarnya terjadi. Dokter tadi berkata jika ia ditemukan tenggelam di sungai dan pingsan selama delapan jam. Anehnya, ia tidak mengingat apapun sebelum terbangun di ranjang rumah sakit ini. Ia bahkan tidak mengingat siapa dirinya dan keluarganya. Ia hanya mengetahui namanya Alana Putri Arsyla dari identitas yang ditemukan dalam dompetnya.
Dompet merah muda yang berada dalam genggamannya merupakan satu-satunya benda yang dimilikinya saat ini. Dalam dompet itu berisi sejumlah uang yang tidak banyak dan kartu identitas. Gadis itu membuka kembali dompet tersebut. Ia mengeluarkan kartu identitasnya dan menatap alamat rumah yang tertera di sana.
"Apakah ini alamat rumahku?"
Tirai yang membatasi antar ranjang di unit gawat darurat itu tersibak oleh gerakan tangan perawat yang datang. "Pasien Alana. Jika infusnya telah habis, Anda bisa langsung pulang ke rumah," ucapnya setelah memeriksa cairan infus yang menggantung di samping ranjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
BITTERSWEET ✔️ | END
Roman pour Adolescents[DALAM PROSES PENERBITAN] Dalam 17 tahun hidupnya, Alana tidak pernah memikirkan jika petualangan yang luar biasa akan dirasakannya. Semua yang ia rasa begitu kenal, rupanya sangat asing. Ia merasa jika kehidupan manis yang didambakannya hanyalah bu...