Begitu bel pulang berdering, Alana segera merapikan barangnya. Saat hendak melangkah dari bangkunya, tanpa sengaja ia menabrak Jihan yang juga akan keluar kelas.
"Anak miskin! Apa kamu ingin mencari masalah denganku?!"
"Maaf, aku tidak sengaja, Jihan," balas gadis itu.
"Ish! Bau kemiskinanmu jadi menempel kepadaku," ucap Jihan seraya menepuk-nepuk lengan bajunya seolah ia tengah menyingkirkan kotoran yang melekat di sana.
"Jihan, aku sedang terburu-buru. Maafkan aku, tapi aku harus segera pergi," ucap Alana. Saat gadis itu hendak berbalik melangkah pergi, pergelangan tangannya dicekal dengan kuat oleh Jihan.
"Mau ke mana kamu? Kamu tidak bisa pergi begitu saja."
"Tolonglah, Jihan. Aku benar-benar memiliki sesuatu yang penting." Gadis itu memohon dengan sungguh-sungguh. Ia berharap jika Jihan akan melepaskannya untuk kali ini. Ia harus mencari pekerjaan paruh waktu seperti yang telah direncanakannya.
"Aku tidak peduli dengan itu," balas Jihan tajam.
Sebuah tangan terulur mencekal pergelangan tangan Jihan. Tangan itu menarik tangan Jihan agar melepaskan genggamannya pada tangan Alana. Adrian di sana berdiri menatap tajam ke arah Jihan. Ia menepis tangan Jihan dalam sekali hentakan.
"Ia mengatakan jika ada sesuatu yang penting. Setidaknya biarkan ia pergi," ujar lelaki itu.
"Adrian, mengapa kamu selalu mengangguku? Tidak bisakah kamu pergi saja dan mengabaikannya?" gerutu Jihan menggertakkan giginya.
"Aku tidak bisa mengabaikannya. Karena kamu mengganggu orangku," balas Adrian tajam. Suasana berubah menjadi begitu dingin.
"Orangmu? Alana adalah orangmu? Apakah kalian berkencan?"
"Tidak memerlukan sebuah status untuk menjadi orang yang kamu pedulikan. Jika aku mengatakan ia orangku, maka ia orangku. Jangan pernah mengusiknya kembali atau aku juga akan mengusikmu," ancam lelaki itu membuat Jihan membungkam mulutnya.
Lelaki itu meraih tangan Alana dan menariknya pergi meninggalkan ruang kelas. Tak jauh dari ruang kelas 11 IPS 3, Juna yang baru saja tiba melihat kepergian dua orang itu. Pandangannya terpaku pada tangan Adrian yang menarik gadis itu menjauh.
Adrian menghentikan langkahnya saat mencapai gerbang sekolah. Ia melepaskan genggaman tangannya pada pergelangan tangan Alana. Ia berbalik menatap gadis itu.
"Terima kasih karena telah membantuku kembali," ujar gadis itu. Ia menatap Adrian lantas menyunggingkan senyum tulusnya.
"Hal mendesak apa yang perlu kamu lakukan?"
Seolah baru teringat tujuannya, gadis itu menepuk dahinya. "Oh, iya! Aku harus pergi bergegas ke kedai kue di dekat rumah. Aku akan melakukan wawancara kerja untuk pekerjaan paruh waktu."
"Pekerjaan paruh waktu?"
"Iya, aku memutuskan untuk mencari pekerjaan paruh waktu. Karya wisata yang akan diadakan dalam beberapa bulan lagi, aku ingin mengikutinya," balas gadis itu.
Lelaki itu diam sejenak. "Ayo!" serunya sembari melangkah kembali menuju tempat parkir. Merasa tidak ada langkah kaki yang mengikutinya, ia membalikkan badannya dan mendapati gadis itu masih berdiri di tempatnya.
"Kamu bilang perlu bergegas!" teriaknya dari tempatnya berdiri. Adrian menggerakkan kepalanya seolah meminta gadis itu mengikutinya.
Alana yang mengerti maksud dari lelaki itu segera berlari menyusulnya.
🌻🌻🌻
Adrian menanti di depan kedai kue yang Alana katakan. Kedai itu rupanya searah dengan rumah gadis itu dan juga taman kota. Bangunannya yang minimalis dengan dekorasi cantik mampu menarik minat pengunjung diusia remaja hingga dewasa. Kedai ini tidak hanya menyajikan kue, tetapi juga kopi dan beberapa camilan pastry.
KAMU SEDANG MEMBACA
BITTERSWEET ✔️ | END
Teen Fiction[DALAM PROSES PENERBITAN] Dalam 17 tahun hidupnya, Alana tidak pernah memikirkan jika petualangan yang luar biasa akan dirasakannya. Semua yang ia rasa begitu kenal, rupanya sangat asing. Ia merasa jika kehidupan manis yang didambakannya hanyalah bu...