ii. Kembali Hidup

135 15 0
                                    

Matahari telah terbit, menghapus jejak-jejak kekuasaan gulita yang berperang dengan bulan bintang. Hawa dingin perlahan buyar dibayar teriknya sang surya, raja sesungguhnya dari angkasa. Orang-orang berbondong-bondong keluar dengan jerit dan tangisan, pagi ini tentara Nippon sudah menggerebek rumah-rumah, memaksa warga untuk keluar dan melakukan tradisi seikerei.

Menyembah dewa matahari.

Sialan, bahkan kepercayaan terhadap Tuhan pun mereka atur. Menjanjikan merdeka kepalamu!

Bahkan, orang-orang yang dipaksa itu tidak tahu apa yang mereka lakukan, baik, mereka menunduk ke arah timur. Lalu? Tujuannya? Senara mendecih mengingat semua hal yang mereka lakukan hanyalah untuk bertahan hidup, atas nyawa yang mereka berhak.

"Bu, hari ini Bapak di rumah?"

Bagus, topik yang cukup ringan untuk memulai hari.

"Tidak, Nak. Gunseikan ada janji dengan para pemimpin daerah. Ayahmu harus hadir, kamu tahu sendiri."

Benar, bekerja sebagai penerjemah memang sangat sangat sebuah keberuntungan yang menimpa keluarganya. Sebab jabatan ayahnya itu, keluarganya tidak perlu bersujud mengemis demi segenggam beras gagal panen. Yang dikorbankan? Tidak banyak, hanya waktu untuk keluarga saja.

"Ya sudah, hari ini aku mau ke pameran lukis, setelah ini Wijaya mau menjemput."

"Bawa serabi yang sudah ibu masak, sudah ibu siapkan di sini. Makan bersama Wijaya sebagai ucapan terimakasih," ujar ibunya sembari memberikan bingkisan kecil.

"Iya, Bu."

Dengan itu, Senara beranjak menuju kamarnya, mengambil gaun berwarna gading yang sudah ia siapkan sejak semalam, bertabur aroma cendana hasil ia setrika penuh usaha. Penampilannya sempurna dilengkapi scarf pita hijau zamrud memeluk leher, baik, sudah seperti akan berkencan saja.

Rambut panjangnya tergulung rapi, elok menghias wajahnya yang sudah dirias tipis. Jika boleh memuji diri, Senara rasa dirinya paling rupawan di kampung ini— setelah Jihan pastinya.

"Nak, Wijaya sudah datang!"

Teriakan ibunya dari ruang depan memecah fokusnya, dengan sigap ia mengambil tas cokelat andalannya yang selalu dibawa kemana saja. Memastikan sekali lagi penampilannya di cermin, setelahnya ia langsung berlari kecil menuju depan, tidak baik menunggu tamu menunggu.

"Berapa lama perjalanannya, Nak Wijaya?"

"Sekitar tiga puluh lima menit, mungkin. Jalan kaki juga, jadi tidak bisa dikira-kira, kalau letih nanti kami berhenti dulu di toko yang ada," jawaban Wijaya mengalir begitu saja. 

Rambutnya klimis berpadu dengan kemeja putihnya, pangeran yang cukup tampan. Senara tidak menyesal berteman sejak kecil dengan putra kawan ayahnya itu. Abhimanyu Wijaya, yang usianya terpaut tiga tahun lebih tua darinya, pria matang yang sudah menempuh pendidikan di Belanda sejak dua tahun silam. 

"Ayo berangkat?"

"Boleh, kami duluan, bu," begitu pamit Senara, keduanya berjalan berdampingan menuju ke arah tujuan, dengan Wijaya sebagai penunjuk arah. 

"Dari sini, kita kita belok kiri. Acaranya ada di rumah Nona Delisa, katanya Agus Djaya akan hadir."

Acara pagelaran seni bertempat di pustanya Bantam Regentschappen; Banten, kota Serang. Jaraknya cukup jauh dari wilayah kampung, desa Angsana meski masih satu kabupaten, tidak bisa dibilang dekat dengan Serang. Tetapi demi lautan karya dan satu tokoh impian, Agus Djaya; sang pelukis tersohor di Nusantara, keduanya rela harus mengerahkan tenaga hingga batas.

"Aku tahu beritanya, sudah aku siapkan kertas dan lukisan terbaikku untuk ditandatangani. Semoga saja tidak berebut nanti," jawab Senara menimpali.

Keduanya kembali diam, sebelum Wijaya kembali membuka percakapan antar keduanya.

SEMESTA ADIWARNA; Jika Mimpi Menolak DustaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang