Jika sebuah tanah telah dianggap tempat singgah, gersangnya pun tampak laksana hamparan samudra. Cakrawala boleh indah, tetapi entah yang ada di bawahnya, tetapi entah yang dinaunginya. Matahari terbit untuk tenggelam, ombak pasang untuk kembali surut, manusia hidup untuk mati. Pilihannya hanya dua; mati sebelum menggapai mimpi, atau sesudahnya.
"Ibu, aku mau makan dahulu ya, tolong bilangkan ke Bapak kalau aku duluan, sudah ditunggu teman-teman."
"Bisa tidak, hari ini kamu di rumah saja?"
Tidak. Mendengar ucapan ibunya, gadis dengan rambut menjuntai panjang itu menoleh heran, alisnya dinaikkan seolah bertanya; kenapa?
"Hari ini Katsuo mau mampir, katanya mau bertemu kamu. Ibu tidak bisa mengelak lagi, kamu harus di rumah dulu sekarang, ya?"
Katsuo? Lagi? Ia sudah muak. Dengan tegas, putrinya— Senara menatap sang ibu yang memelas. Kalau begini, sebetulnya ia juga tidak tega, tapi mau bagaimana lagi? Dirinya juga punya hak untuk menolak, bukan? Jika ia hanya terus pasrah menerima keadaan, bagaimana nasib dirinya nanti, mungkin berakhir seperti para perempuan malang lainnya yang menjadi bunga raya para tentara Nippon itu.
"Bu, sudah aku bilang aku tidak ada rasa. Apa masih kurang penjelasanku saat makan malam kemarin?"
Bahu ibunya menurun mendengar keluh kesah putrinya, bunga yang ia tanam dan siram tiap harinya, kini harus mati-matian berakar di tanah agar tidak tergerus angin.
"Nak, ibu juga ingin kamu bebas. Tapi bagaimana kamu bisa bebas, kalau kamu saja tidak hidup."
"Bu, aku tidak akan mati dengan mudah. Dia tidak akan langsung membunuhku sebab penolakan, Bu.”
"Sekali saja, tidak bisa?" bujuk ibunya.
"Tidak bisa, Bu. Aku takut bertemu dengan Katsuo," dengan itu, Senara melangkah keluar, meninggalkan rumahnya dan sang Ibu yang meratap sendirian.
Ia akui, dirinya egois. Membiarkan ibunya untuk berhadapan seorang diri dengan gunseikan yang terkenal muka duanya. Tak apa, Senara yakin ibunya akan baik-baik saja, lelaki yang ingin menemuinya itu selalu memakai topeng baiknya, ia akan berpura-pura tersenyum sebelum kemudian meninggalkan rumahnya dengan tangan menggenggam erat.
Menutup pagar rumahnya yang sudah berkarat, Senara melambai pelan sebagai simbol untuk berpamitan. Meski pergi tanpa restu ibu, setidaknya ia mengerti ayahnya akan maklum. Beban-beban kehidupan, selalu berhasil membawanya menuju jurang keresahan.
Jika sudah begini, memang hanya kanvas dan kuas yang bisa jadi obatnya.
______
"Selamat siang, Jihan."
Ruangan itu sunyi, bangunan kumuh bekas pabrik gula terbengkalai sebab dianggap tidak menghasilkan untung, juga tempatnya tidak strategis untuk didirikan sebuah perusahaan. Syukurlah, masih ada yang tersisa di negeri ini. Meski buangan, tempat ini satu-satunya latar paling nyaman untuk bersinggah, entah sementara— atau selamanya.
Kolong Adiwarna, begitu orang-orang menyebutnya. Agak terlalu indah untuk sebuah bangunan bekas yang dicampakkan.
"Siang, Senara. Tumben akhir pekan kesini? Biasanya sibuk terus memasak untuk tamu," canda gadis yang memakai bandana putih di rambutnya, namanya Jihan; putri satu-satunya dari deretan pemimpin prajurit Heiho yang tersohor kejamnya. Sebetulnya, dirinya bernama asli 'Yabuki Yurina' namun ia tak sudi menjaga marga penjajah dalam namanya, jadi ia lebih suka dipanggil Jihan, sebutan sayang dari neneknya.
Baik, demikian sedikit biografi dari si mawar berduri, Jihan Lestari. Parasnya tidak diragukan lagi, bahkan Gunseibu daerah pun terdayung mengikuti arus pesonanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMESTA ADIWARNA; Jika Mimpi Menolak Dusta
Romance1943. Manakala Bumi Putera menjadi saksi dua insan yang saling memadu kasih. Sebagai seorang seniman, tak ada hal yang bisa lebih baik bagi Senara selain berlayar di samudra kanvas bersama bahtera kuas dan pancarona. Setidaknya, sebelum ia berjumpa...