Desember lalu, menjelang akhir tahun, seluruh warga di tanah pribumi kembali merajut asa pada Sang Pencipta. Mengharap kebebasan yang nyata, mengharap bahagia yang tak fana, dan berharap hidup tanpa rasa resah. Nusantara adalah segala mimpi yang mereka emban, tanaman rapuh yang mereka siram tanpa lelah meski tanpa bantuan hujan nan surya.
Asa jutaan jiwa terkubur di tanah subur Nusantara.
Asa jutaan jiwa mati kering di sejuknya awan Nusantara.
Tanah yang bergelimang harta, dilalui tanpa alas kaki si tuan rumah.
Dulu, Belanda yang merasa menjelma sebagai penguasa bumi senantiasa menginjak buliran impian para penghuni bangsa, frasa 'Priboemi dan Andjing dilarang masoek' tak lagi asing menjadi hiasan gantung di rumah-rumah berbahan bata, yang atapnya tanpa cacat dan tiang lebih dari tiga.
Begitupun Praja menduga bahwa memang dirinya terlampau sial untuk hidup di tanah yang dijarah, tanah jajahan yang menghabiskan umur dalam sia-sia, belenggu aturan dan paksaan tiada akhir untuk diterka. Mungkin bila dunia kiamat, tak akan begitu rugi bagi dirinya.
Sayangnya, pikirannya itu tak hanya bersemayan di hati, tetapi berbuah suara yang menyapa Supriyadi.
"Putus asamu adalah bangkai yang harus dibuang."
Praja mendesah berat, bahunya lemas tanpa harap, "Dan bangkai itu sudah terlampau dalam dikubur, mampukah seseorang di dunia membuangnya? Jikapun dibuang, bangkainya akan tetap utuh dipeluk tanah dengan erat.”
Supriyadi merutuk, “Bangkai mimpi.”
Pelatihan tentara PETA berlangsung tanpa pandang waktu, siang hari mereka berlari tanpa perut terisi, malam hari harus telentang di hamparan tak beralas tanpa pelindung diri.
"Mengapa dirimu begitu lemah?" tukas Supriyadi menyapa rungu untuk kedua kali, memandang netra kosong dari rekannya yang sedari pagi mengucap keluh, tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba segala yang terlempar dari lisannya bualan kosong tanpa makna, "Aku lelah mendengar omong kosongmu."
Sungguh, rasanya seperti pria yang di sebelahnya saat ini adalah siluman handal.
"Aku juga lelah dengan omong kosongku," nada Praja frustasi, Supriyadi melirik sinis dan mencuri gerak untuk memukul tempurung kepalanya.
Pasti sakit, terbukti dengan desisan Praja yang ia balas pedas, "Maka tutup mulut saja dan lakukan pelatihan dengan benar."
Detik-detik itu memuakkan, dijemur bagai ikan asin di bawah terik mentari yang menyala adalah opsi terakhir untuk menghabiskan siang serta menunggu malam. Bentakan bajingan tentara Nippon sebab jumlah pemuda yang tumbang menjadi alasan utama latihan hari ini berjalan seburuk neraka, apabila sekedar membentak mungkin tak sebegitu berupa, tetapi tiap makin tinggi nada yang terlontar, maka makin keras pukulan tongkat kepada punggung siapapun yang sedang sial, melatih ketahanan melawan musuh katanya.
Bagaimanapun, mereka disatukan di atas tanah ini sebab dasar yang sama, tujuan yang sama pula. Menjadi bagian dari orang-orang yang dihormati sebab punya nyali melawan penjajah adalah mimpi dari segala mimpi, namun jika hanya modal nyali, maka nyawa sudah pasti ciut di tepi.
Bukan masalah, Praja dan Supriyadi akan menjadi orang penting bagi kemerdekaan Nusantara, benar?
Di tengah lalu lalang para pemuda, sosok tinggi dengan kulit pucat menarik atensi penuh Praja, dipandangnya di sana, sosok yang paling ia nanti melambaikan tangan, "Kemari!"
Mengendap-endap, dan Praja berjaya.
"Ada titipan dari Senara."
Katsuo, oh Katsuo! Betapa suaramu menyejukkan hati bujangan yang tengah terbakar.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMESTA ADIWARNA; Jika Mimpi Menolak Dusta
Romance1943. Manakala Bumi Putera menjadi saksi dua insan yang saling memadu kasih. Sebagai seorang seniman, tak ada hal yang bisa lebih baik bagi Senara selain berlayar di samudra kanvas bersama bahtera kuas dan pancarona. Setidaknya, sebelum ia berjumpa...