Apabila hujan sudah turun,
Awan mendung melapor kepada surya
Jangan datang dahulu, biarkan hujan hingga redaApabila hati sudah jatuh,
Akal sehat melapor kepada rasa
Jangan reda dahulu, biarkan indahnya takdir datangManusia itu, kodratnya bila tidak usaha, maka pasrah. Dan Senara akan memilih yang pertama, baginya, hal itu jauh lebih menjamin ketimbang diam membiarkan arus hidup membawanya hanyut.
"Selamat pagi, dunia. Tolong perlakukan aku dengan baik hari ini—"
Untuk memulai hari, Senara terbiasa menyapa alam semesta dan harapan yang ia punya. Ibunya mengajarkan demikian agar ia tidak akan resah dalam melangkah, karena ia dicintai oleh dunia. Begitu pula hari ini, ucapan awalnya berlabuh harap akan indahnya hari, sebelum diputus sebab suara ribut dari luar kamar.
"Kenapa anak manja ini ada di sini? Hei penipu!"
Itu suara Wijaya.
Tanpa basa-basi, membiarkan rambutnya terurai berantakan tanpa disisir, wajah hampa riasan, Senara bangkit dari kasur dan bergegas lari menuju ruang depan, asal sumber suara. Dilihatnya di sana, sahabat masa kecilnya yang kini bersitatap dengan tamu— ralat, kekasihnya.
"Siapa yang beri kamu hak menginjakkan kaki di sini? Ini rumah kawan—"
"Wijaya, berhenti!"
Sentakan Senara bergeming di udara, memecah senyap dan menarik atensi dua kepala yang ada di sana. Wijaya dan Praja, sedetik kemudian saling memandang sebelum Wijaya melangkah maju untuk mendekati Senara, "Senara, apa yang dilakukan penipu ini di sini? Melihat wajahnya saja membuatku muak."
"Muak kepalamu! Aku yang muak dengar suaramu pagi-pagi begini," seru Senara sembari memukul pelan kepala Wijaya, Praja diam mematung mendapati dirinya menjadi biang masalah dari dua sahabat sejak bayi itu.
"Dia ini ke— klien Bapakku, setelah ini mereka akan berangkat perjalanan, rencananya harus kemarin tetapi batal sebab hujan. Sudah, sekarang kamu cepat bilang apa tujuanmu kemari."
Dahi Wijaya berkerut mendapat jawaban ketus dari Senara, sungguh, kawannya yang menyaksikan dirinya sejak bocah ingusan ini membentak dirinya sebab seorang pria asing? "Ini, Ibu menitipkan sarapan untuk kamu, semur ayam, sudah aku pamit dulu. Sepertinya kamu tidak senang aku datang."
Dan tak ada kesempatan bagi Senara untuk menjawab, Wijaya langsung berbalik arah menuju pintu, tanpa ucapan salam atau selamat tinggal, atau gestur lambaian tangan sebagai tanda berpamitan.
"Wijaya! Tunggu—"
"Kamu betul-betul akan mengejar pria lain di depan kekasihmu?" Langkahnya terhenti, niat awal untuk memberi penjelasan pada Wijaya seketika sirna begitu mendengar gumam rendah penuh tanya, ia lupa bahwa Praja masih di sana.
"Kurasa perasaan Wijaya sedang buruk hari ini. Kamu bisa temui dia saat emosinya sudah reda."
Senara mengangguk singkat atas saran Praja, keduanya beriringan menuju meja makan untuk sarapan. Bersinggah di kursi kayu yang kakinya sudah tidak sempurna, segala kekurangan yang ada bagai keindahan surga untuk dua insan yang saling memadu rasa. Bahagia yang fana, tolong singgah untuk selamanya.
"Semurnya masih hangat, aku ambilkan nasi dulu, kita sarapan. Bapak Ibu masih ada urusan menemui tetangga yang sakit."
"Baik, bisa tolong buatkan teh?"
Senara melirik gurau mendengar pertanyaan itu, "Tuan tamu yang terhormat, bisakah dirimu sadar diri sedikit?"
Alis tebal paripurna itu dinaikkan sebelah, senyum jahil terpatri menambah pesona yang jumawa, "Ini rumah istriku di masa depan, bukankah bagus jika aku mulai membiasakan diri?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMESTA ADIWARNA; Jika Mimpi Menolak Dusta
Romance1943. Manakala Bumi Putera menjadi saksi dua insan yang saling memadu kasih. Sebagai seorang seniman, tak ada hal yang bisa lebih baik bagi Senara selain berlayar di samudra kanvas bersama bahtera kuas dan pancarona. Setidaknya, sebelum ia berjumpa...