x. Perjalanan Hidup

68 5 0
                                    

Secara bahasa, seni adalah karya yang diciptakan dengan keahlian luar biasa, seperti tarian, lukisan, dan ukiran. Bagi beberapa lapisan masyarakat, seni adalah cara untuk mencari uang, atau jalan untuk menghamburkan uang.

Bahkan untuk satu kata, dunia memiliki kacamata berbeda.

Bagi Senara sendiri, seni adalah hidup, begitupun sebaliknya. Jika ia telah kehilangan minat di dalamnya, maka ia telah kehilangan seluruh arah dan jalan hidupnya. Melalui seni, dirinya bisa menjadi dalang dan bukan wayang, segala hal bisa berlari sesuai apa yang ia inginkan, bukan dirinya yang berlari untuk menggapai keinginan, atau berlari menghindari kenyataan.

Ia bisa berkuasa di dalam seni.

Maka saat di hari dirinya kehilangan segala euforia dalam berkarya, ia merasa nyawanya direnggut untuk pertama kalinya.

Kata orang, seniman itu mati dua kali, dan ini adalah kematian pertamanya.

Kanvas putih tak pernah tampak semembosankan ini, goresan warna seharusnya membuat diri berseri, bukan membuat suntuk hati. Tetapi apa yang bisa ia lakukan? Daksa tak bisa menipu, ia telah mati bersama mimpi-mimpinya.

Senara kira, dirinya sedang berada di ambang kematian.

Tetapi kertas kecil dengan tulisan tangan indah kemarin merubah segalanya, membangunkan tekadnya yang kian sirna, mengejar angannya yang kian hampa.

Hari ini, Senara hidup kembali.

Kolong Adiwarna sejuk seperti biasa, aroma apek dan lembab sebab bekas tetes hujan juga umut basah kini kembali membuatnya tenang. Ia senang, bisa menjadi bagian dari orang-orang yang diberkahi Tuhan dengan kecanduan akan keindahan. Melalui netranya, dunia selalu memiliki bagian untuk dikagumi.

Sore hari saat dirinya tengah menyibukkan diri dengan wahana rona, tepukan pelan di pundaknya menyadarkannya. Pasti itu Wijaya, pantas ia abaikan dan melanjutkan tangannya untuk bergerak mengikuti perintah, meninggalkan jejak biru tua yang menjadi akhir dari kegiatannya.

"Senara."

Itu bukan Wijaya.

Suara itu terlampau lembut.

Begitu ia menoleh penuh antusias, senyumannya merekah tanpa ia duga, matanya kian berkaca memandang sosok di hadapannya dengan penuh bahagia, desir di hatinya membuncah ruah dalam ekspresi bunga, "Jihan!"

Keduanya berpelukan. Sama-sama melepaskan kenangan yang terlintas sebab rindu, melepas resah dan gelisah sebab saling tak bertemu. Kenyataan bahwa mereka sama-sama baik-baik saja lebih dari cukup untuk membahagiakan. Ternyata, keduanya tak saling melupakan.

Meski saling berusaha melupakan luka yang ada, keduanya tak lupa akan kenangan yang tercipta. Saat keduanya saling berpandangan, sebuah kehangatan merebak tanpa diduga, "Kamu baik-baik saja?"

Gadis itu mengangguk, kawannya kini dibebani gelar sebagai madu Gunseibu Jawa Barat, dan ia datang kepadanya dengan selamat, bahkan memeluk dirinya erat, "Aku baik-baik saja, bagaimana denganmu?"

Senara mengangguk kuat, terlampau bahagia untuk sekedar menjawab.

Jihan masih hidup.

Atau, Jihan kembali hidup.

Di Kolong Adiwarna, keduanya kembali berjumpa. Duduk berseberangan di atas kursi yang hampir patah, mereka saling mengungkap kisah yang saling dibina, bertukar frasa untuk saling membuka dan mengobati luka.

Kawan lama tak pernah berubah.

"Aku senang kamu mulai bisa menerima garis takdir," Senara membelai penuh kelembutan jemari rekan tersayangnya, "Meski tak mudah, kamu harus tahu bahwa kamu sangat-sangat hebat."

SEMESTA ADIWARNA; Jika Mimpi Menolak DustaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang