viii. Jarak Permulaan

63 6 0
                                    

Senara adalah gadis dengan seribu tekad, Praja mengetahui itu lebih dari siapapun. Kekasihnya adalah seorang manusia yang hidup bukan untuk mati, tetapi untuk menggapai semua mimpi. Benteng pertahanannya telah kokoh sejak dini, terbentuk sempurna menahan goncangan dan serangan. Maka saat hingga pada hari ini gadis itu masih berada dalam peluknya setelah badai kemarin, dirinya tidak heran.

Bertemu lagi di pagi hari untuk menyambung hati, semenjak kemarin, Tuan Yuda memperlakukan Senara bak menantu asli, mulai dari mengantar gadis itu pulang ke rumah hingga membawakan serantang kari ayam untuk dimakan. Nona Delisa tak kalah saing, sebuah syal telah resmi diberikan demi agar dirinya tak sampai terjangkit demam, mengingat cuaca yang tengah kejam.

"Aku sangat takut kamu tak akan kembali saat itu," bergeming sejenak, Senara menyandarkan kepala pada bahu yang menjadi tempat singgah barunya, "Jika saat itu aku tak mendatangi rumahmu, apakah hari ini kita masih bersama?"

Praja sendiri tidak tahu.

Dua harinya adalah perjalanan yang sia-sia, dirinya adalah pecundang yang tak berusaha meminta belas kasih terhadap Bapaknya, melainkan Aruna.

"Kamu bahkan ragu," suara Senara bergetar, "Tetapi bukan masalah. Sekarang kita sudah bersama lagi."

Tangan Praja tergerak untuk mengelus kepala yang disandarkan pada dirinya, "Setelah hari ini, apakah kita bisa memulai lembar baru?"

"Dengan apa kita awali yang baru itu?" kerlingan jahil Senara membawa desir hangat tak karuan dalam benaknya, "Mungkin ini."

Banyak cara untuk menggambarkan cinta, entah itu melalui lisan, tulisan, maupun pergerakan. Hari ini, Praja memilih yang ketiga. Tenggelam dalam manisnya decap bibir Senara, saling menautkan kecupan satu sama lain, memejamkan mata— keduanya menikmati sensasi yang belum pernah dirasa, kehangatan yang menyebar teramat membahagiakan untuk dianggap asing.

Tampaknya tak ada akhir untuk itu, terlalu enggan rasanya untuk melepas dan memberi jarak baru.

Di bawah rindangnya pohon jarak yang menemani sungai, lembaran baru kisah keduanya dimulai.

Begitu kedua mata itu berpandangan, meski masih menjadi satu, senyuman lebar terbit menjadi permulaan yang amat candu.

"Hari ini, semua dariku adalah milikmu, Senara," 

Terlalu banyak hal yang ingin mereka lakukan, musuh terberatnya adalah waktu. Jika tak ada yang namanya masa lalu, mungkin keduanya akan  tenggelam pesona masing-masing, tak pernah terlintas dalam benak mengenai hari esok atau kemarin. Senara telah menerima Praja sebagai tokoh utama baru dalam ceritanya, maka ia telah lebih dari siaga untuk mengungkapkan segala hal ataupun rahasia.

Hari ini, ia akan memperkenalkan Kolong Adiwarna. 

Rumah singgah baru yang akan menjadi tempat bersejarah keduanya.

Tepat sasaran akan dugaannya, senyum riang tak pernah luntur dari paras rupawan kekasihnya sejak kedua insan itu menginjakkan kaki di bangunan kebanggan Desa Angsana. Suasana mendung memberi dampak bagi tamu yang tiba, hari ini hanya enam orang yang tampak masih menyelami samudra rona, tak seramai biasanya.

"Selamat datang di Kolong Adiwarna, Praja. Di sini adalah markas kami para pelukis Desa Angsana, meski beberapa kabar telah menyebar tentang tempat ini, rata-rata rekan yang berkunjung masih orang-orang sekitar," ungkapan Senara memandu diri yang melangkah semakin dalam, memandang ujung yang gelap gulita, sudut-sudut kumuh dan usang. Memang, setelah memegang kuas, mereka yang hadir di sini masuk ke dunia lain.

Dunia yang membangun segala istana imajinasi, tak ada batas di dalamnya, tak ada resah di sisinya.

Mengingat bahwa Senara akan menghabiskan hari-harinya dalam dinginnya ruang ini, Praja berlari akan ingatannya tentang kehangatan warung lontong sayur favoritnya, sekaligus rumah singgah miliknya dan para komplotan pena usang. Kehidupannya dan Senara sama persis dengan semua perbedaan.

SEMESTA ADIWARNA; Jika Mimpi Menolak DustaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang