vi. Berlalu Tanpa Kamu

65 5 0
                                    

Bangunan ini tak pernah ia sebut rumah.

Meski atap-atap di sinilah yang selalu melindunginya dari terik dan hujan. Meski tembok kokoh bercorak kemuning ini yang menjadi saksi bisu dirinya berkembang. Meski hamparan tanah luas berhias rumput yang menjadi tempat dirinya berpijak. Meski dua orang pemilik lahan ini adalah sosok yang menjadi asal muasal dirinya hadir di semesta yang kejam.

Sejak mengenal wahana mengagumkan yang bermain-main dengan frasa, juga menjumpai jembatan panorama yang dipahat oleh corak dan warna, Praja menyadari bahwa rumah adalah tempat untuk bersinggah selamanya.

Ia tak ingin berada di tempat ini selamanya.

Tak ada yang menerimanya di sini, lantas untuk apa dirinya pulang?

"Ada pertemuan yang harus kamu hadiri besok. Bapak sudah carikan penerjemah baru, berkas yang dibutuhkan sudah ada di ruang kerja, kamu bisa baca di sana."

Tidak ditanya apakah dirinya baik-baik saja atau sebaliknya, tidak ditanya dirinya sudah makan atau sebaliknya, tidak ditanya apapun yang ia harap akan dilontarkan.

"Pak, aku mau bicara."

"Bapak tidak ada waktu untuk mendengar bualan sia-siamu, sekarang pergilah urusi perusahaan Bapak, Nippon-Nippon itu tak akan tinggal diam jika pabrik kita tidak lagi membayarkan uang dan tembakau."

Tuan Yuda menyilangkan kaki, menyeruput kopi dingin yang telah tersaji di atas meja kebanggaannya, "Kamu sudah pulang, sekarang berhenti bermain-main dan selesaikan tugasmu. Bapak akan beri gadis itu uang yang banyak jika bertemu lagi, kamu tidak usah kasihan padanya."

"Aku tidak bermain-main, Pak."

Pandangan tajam Tuan Yuda akan membuat siapapun yang mendapatkannya merasa ingin terbirit kencang, dan tidak pengecualian bagi putranya sendiri. Begitu kaki yang senantiasa disilangkan itu tegap, Praja tahu bahwa dirinya tak akan keluar tanpa masalah.

"Lalu sekarang apa?"

"Aku mau hubunganku dan Aruna diakhiri. Kami tidak mencintai satu sama lain."

Gelas yang masih terisikan setengah itu dibanting kuat, dentingan suara pecahan lebih keras dari suara Praja yang menjelaskan, cairan hitam pekat membasahi sepatunya yang mengkilap. Meski berdiri tegak, rasanya sekarang Praja ingin bersimpuh memohon ampunan.

"Sudah diapakan kamu oleh gadis yang kemarin sampai jadi tidak waras begini?"

"Diberikan cinta, yang tak pernah aku dapatkan."

"Jadi apa kamu dengan cinta? Diberi makan? Kamu kira nasi yang di perutmu itu ada karena cinta? JAWAB BAPAK!"

"Tapi aku dan Aruna sama-sama tidak saling cinta, Pak. Kami tidak bahagia,” nadanya memohon.

"Hidupmu begini saja masih kau anggap tak bahagia! Lantas, bagaimana jika kau hidup dengan gadis rendahan seperti dia yang kau cinta? Tidakkah kau akan sebut hidupmu neraka?"

"Tidak segala hal diukur dengan harta dan kasta."

Tuan Yuda menatap tajam putranya yang tengah mengajukan harapan, "Tetapi kasta bisa memberimu kuasa, jangan lupa kamu masih punya orang tua. Jika kamu memang mau mempertahankan cintamu itu. Mulai hari ini, kamu bisa pergi dan jadi gelandangan bersama gadis itu, jangan pernah kembali dan anggap dirimu keturunan dari keluargaku."

_________________

Kolong adiwarna adalah bagian dari sejarah.

Sebuah lahan bidang yang berdiri puluhan tahun, dari masa kejayaan Belanda hingga kini dibuang tanpa penghormatan, tiap pijakannya menyimpan ribuan kisah. Kolong adiwarna menjadi saksi para seniman yang mimpinya mati, mereka yang harus berhenti bermain warna lantaran dijodohkan, ditembak mati, dinikahkan, dikhianati, atau kehilangan kewarasan.

SEMESTA ADIWARNA; Jika Mimpi Menolak DustaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang