v. Sudut Hampa

64 8 0
                                    

Jika ia datang, Praja akan memperkenalkannya sebagai gadis yang dipuja. Menghadapkannya di depan Nona Delisa dan suaminya sebagai calon menantu, yang nantinya akan menjadi bagian dari keluarga. 

Kisah mereka akan sempurna, melangkah tanpa ada resah mengingat doa yang selalu dihujankan untuk bahagia keduanya. Suatu saat, jika Senara memeluk Praja tanpa sebab, ia hanya akan berkata, "Aku bersyukur bisa menjadi bagian hidupmu."

Itu yang sebelumnya Senara duga.

Perkirannya jauh salah.

Kehadiran keduanya laksana badai yang tidak pernah diharap ada, seakan keduanya adalah bandit yang datang untuk menjarah, hingga pantas untuk diperlakukan hina tanpa hormat. Fakta bahwa Praja adalah putra tunggal dari keluarga ternama yang didamba-damba, tampaknya tidak lagi bagian dari semesta.

Dalam rentang yang singkat, mereka hancur sehancur-hancurnya. Mulanya rumah megah itu tertutup rapat. Dengan tekad bulat berpadu semangat tempur, tautan jemari Senara dan Praja kian erat bersiap mengetuk pintu rumah.

"Bapak, Ibu, aku pulang."

Begitu pintu dibuka, melotot lebar kedua pasang mata yang berada di baliknya. Dua sosok yang rambutnya telah tumbuh uban, tak ada raut bahagia di muka, sama sekali. Di belakang keduanya, seorang wanita muda dengan rambut diikat memandang terkejut.

"Pak, Bu. Perkenalkan kekasihku, Senara."

Dan di sanalah, badai besar benar-benar datang.

Penolakan mentah-mentah dari dua tokoh sebab lahirnya sang kekasih, memporak porandakan segala asa yang telah dirajut. Bentakan dan caci maki menusuk lebih dari anggar apapun yang pernah ada.

"Kami besarkan kamu dengan sendok emas! Tapi kamu putuskan untuk lemparkan kotoran ke muka kami!"

Bentakan itu, suara keras dari Tuan Yuda; Bapak dari Praja berkelebat di benaknya, tak sudi meninggalkan pikirannya tenang barang sedetik. Dadanya sesak, pandangannya buram, air matanya sudah tak lagi berlinang, terlalu lelah untuk meratapi nasib kembali. Dirinya tidak diterima, cinta mereka tidak direstui, jembatan yang sudah dirakit kini rapuh, entah apa yang akan terjadi.

"Berhenti menangis, Senara."

"Kamu diusir sebab aku."

Maka Praja tak ada pilihan selain berusaha memasang raut tenang, "Aku diusir sebab kemarahan bapak ibu, tak ada hubungannya dengan kamu."

"Kalau kita tidak berhubungan, Bapak Ibumu tidak akan murka!" 

"Kalau kita tidak berhubungan, mungkin sekarang aku sudah tiada, Senara," lirih suara Praja semakin mengiris hatinya, ia tak sanggup.

Jika dunia memang kejam, kenapa Tuhan harus menciptakannya?

Kenapa manusia harus berjuang hanya untuk berakhir di galian tanah. Berjuang mati-matian untuk berakhir mati, mencari-cari hal yang tak ada abadi. Apabila manusia sudah diatur segala jalannya, memgapa semuanya tak adil bagi kasta yang rendah?

"Itu tadi Aruna."

Nama yang indah, seindah parasnya.

Desir angin menyapu ketenangan yang seharusnya ada, gundana memeluk terlalu erat dua insan yang seharusnya bahagia, momen yang selayaknya dihabiskan dengan canda tawa justru dihunus dengan lara dan cerita untuk meluruskan, "Kami dijodohkan sejak aku remaja, sepertinya saat itu tujuh belas tahun, pernikahan kami tidak sah secara hukum, sebab usia kami saat itu masih sama-sama dini."

"Aku minta maaf, sebab tak mengatakan apapun ke kamu."

Benar, di sini dirinya adalah korban.

Apabila Praja mengatakan sejak awal jika ia telah terikat benang merah dengan lain jiwa, bukankah kisah mereka tak akan sampai di titik terendah? Setidaknya, benih yang sempat berakar tak akan hingga mekar, bunganya akan layu sebelum berwarna ayu.

SEMESTA ADIWARNA; Jika Mimpi Menolak DustaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang