ix. Umat Muka Dua

60 3 0
                                    

Dunia berputar tanpa siapapun, sebetulnya Praja mengetahui dengan baik wacana demikian, tetapi tak pernah terlintas dalam benaknya bahwa dirinya betul-betul ditinggalkan oleh perubahan zaman, dirinya tak tahu apapun tentang bangsanya, dirinya tak tahu apapun tentang kawan setanah airnya, nyatanya, ia terkubur dalam kebahagiaan atas kasta hingga tak sempat memikirkan lebih jauh perihal Nusantara. 

Pusat pelatihan utama Pelindung Tanah Air; PETA bermarkas di Bogor, tepatnya sebuah kompleks militer yang dibuat sedemikian rupa oleh Nippon; Bo-ei Giyugun Kanbu Renseitai. Segala antek-antek yang diperlukan telah disediakan, mulai dari senjata hingga bahan pangan yang ada untuk pribumi. Di awal dirinya menginjakkan kaki di tanah gersang itu, raut-raut bengis semua warga yang ada membawanya larut dalam penasaran, sebetulnya apa yang mereka cari di sini? Apakah mereka semua dipaksa? Apakah mereka semua tersiksa seperti dirinya?

Semenjak maklumat Osamu Seirei Nomor 44 yang dikeluarkan oleh Letnan Jenderal Kumakichi Harada, Panglima Angkatan Darat ke-16 mengenai pembentukan organisasi militer baru pada awal Oktober 1943 tersebar luas, seluruh pemuda dari Sabang sampai Merauke berbondong-bondong menawarkan diri untuk mulai dilatih perang, dilatih bertarung, dilatih memiliki jiwa siap mati.

Manusia-manusia di sini palsu, mereka tak pernah mengharapkan Nippon  menang atas Sekutu, tetapi juga tidak Sekutu menang atas Nippon. Tujuan mereka hanya satu; diri mereka merdeka. Dan gairah semangatnya dapat dirasakan mengalir meski semua lidah di sana membisu.

Baik di dalam lingkungannya atau tidak, tradisi Nippon memang membentak-bentak, dirinya tak luput untuk menerima serangan kata-kata yang ia sendiri tak paham sejak ia tersandung dan berakhir menumpahkan segelas air yang dibawa seorang tentara Nippon, ucapan maaf tak ada makna.

"Dirimu tampak merenung sedari tadi, Bung. Kita di sini bukan dipesantrenkan, tetapi mau latihan perang!" Seruan lantang dari suara asing bagi rungunya membawa Praja mencari si sumber suara, di sana berdiri seorang pemuda dengan lebam di sekitar mata, senyum merekah di wajahnya begitu Praja menoleh, "Akhirnya kau sadar juga sedari tadi kuajak bicara."

"Siapa namamu? Aku Supriyadi," sebuah tangan diulurkan ke arahnya, mengajak untuk saling berjabat. Bangkit dari duduknya, Praja tersenyum membalas sapaan kawan pertamanya di tanah Bogor.

"Aku Praja."

Setidaknya, kali ini Praja tahu bahwa ia memiliki tempat untuk bergantung sementara, tempat untuk berkeluh kesah, "Senang bertemu."

"Yah ... Aku juga," tetapi wajah itu kini lesu, bertolak belakang saat ia pertama kali menyapa, tak ada yang bisa dilakukan Praja selain melayangkan tanya, mengapa?

"Ini sebetulnya harus jadi rahasia, hanya orang dekat yang bisa tahu, tetapi aku ingin berteman denganmu, dan kuanggap sudah begitu," Supriyadi mendekatkan bibir ke telinganya, berbisik seolah ada orang yang peduli akan percakapan mereka, "Aku benci dengan orang-orang di sini. Tetapi jika aku pergi, negeri ini akan hancur."

"Memangnya kamu siapa?" Praja tertawa remeh mendengar ucapan kawan barunya, siapa gerangan ia sehingga sepenting itu bagi Nusantara?

"Kamu tidak tahu saja, negeri ini butuh orang sepertiku," Supriyadi menepuk dada bangga, dagunya diangkat dan tak ada hal yang lebih angkuh dari sorot matanya, "Yang punya semangat juang tinggi. Bukan sepertimu yang begitu tiba langsung pasang muka kusut."

"Memangnya semangat saja cukup? Kamu harus beri bukti nyata kalau memang benar-benar cinta bangsa."

Supriyadi mengangguk-angguk dengan muka berkerut, keseriusan di wajahnya tampak konyol bagi Praja, sebesar apa tekad kawannya ini? "Benar, kalau begitu, tunggu saja tanggal mainnya! Akan aku buktikan nanti namaku berjejer dengan nama pahlawan negeri."

SEMESTA ADIWARNA; Jika Mimpi Menolak DustaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang