Awal mula kisah Praja dan Senara
"Bapak, Ibu, makanan malam ini enak sekali."
Denting antara sendok dan piring mengisi keheningan malam di ruang makan, sebuah lobster utuh menjadi menu utama kali ini. Hasil jerih payah para nelayan yang bermalam selama bulan-bulanan bermain di lautan, waspada bila sewaktu-waktu ada yang harus dikorbankan, mungkin nyawa. Dan hasil jerih payah mereka, kini terhidang mewah di tengah meja kayu jati yang menjadi harta penting keluarga.
"Syukurlah kalau kamu suka, hari ini Bapak mendapat tawaran pekerjaan dari perusahaan lokal, presdir di sana ingin membuat perjanjian dengan Gunseikan," jawab ayah Senara, Pak Romo namanya- yang tengah menuang air ke dalam gelas.
"Santi, nanti setrika jas hitam yang ada kancingnya lengkap, besok mau dipakai."
"Iya, Pak. Besok berangkat jam berapa? Agar sarapannya tidak telat," jawaban ibu Senara membawa arus menuju topik baru. Baik, besok ayahnya tidak akan di rumah lagi, batin Senara. Tidak terkejut, sudah biasa rumah luasnya itu hanya dihuni dua manusia.
"Mungkin jam tujuh, besok Bapak dijemput sama keluarganya. Jadi harus bersiap lebih awal."
"Bapak, berapa hari lama pertemuannya?"
Pak Romo mendongak mendengar nada beetanya putrinya, yang biasanya selama ini tidak menaruh peduli terhadap lama kerjanya. Kali ini, tumben sekali.
"Mungkin empat hari, sebab perjalanan ke Batavia cukup lama-"
"Jakarta, Pak," sanggah Senara, mengingat wilayah paling strategis incaran Nippon itu kini sudah diganti nama, demi agar bengaruh Belanda tidak lagi merajalela.
"Ya, perjalanan ke sana cukup memakan waktu kalau sekedar pertemuannya mungkin hanya dua jam. Ayah dengar perusahaan itu meminta izin untuk mendirikan cabang di Surakarta."
Penjelasan Pak Romo sudah lebih dari cukup, Senara mengangguk memahami, melanjurkan aktivitasnya mengunyah dan menikmati sensasi gurih dari daging sesepuhnya udang itu.
"Senara, setelah ini tidur ke kamarmu. Santi, tolong lampu teras kamu padamkan agar tidak menarik perhatian tentara yang patroli. Bapak mau ke halaman belakang sebentar,"
"Mau ngapain, Pak? Sudah malam, lho. Nanti ada tamu tak diundang, Bapak kebirit," canda Santi menanggapi suaminya.
Pak Romo terkekeh senang menimpali, "Mau ngisep cerutu bentar."
"Ya sudah, kalau udah balik nanti langsung ke kamar. Ibu mau setrika dulu," pangkas Santi.
Dan perkataan itu menjadi penutup dari makan malam keluarga kali ini.
___________
Selama menjalani hidup dalam rentang dua puluh satu tahun, tak pernah Senara percaya yang namanya kebetulan itu ada. Semua hal sudah diukir Tuhan jauh sebelum alam semesta dipahat, jauh sebelum bumi menyimpan mayat, jauh sebelum dunia dikuasi penjahat. Sebetulnya, memang demikian. Tetapi kali ini, Senara rasa kepercayaannya yang itu perlu dipertanyakan.
"Senang bertemu, nona Senara."
Senang bertemu juga, pangeran tampan.
Di hadapannya sudah berdiri Praja, pria yang kemarin bak menyiramnya dengan guyuran seember air dingin, pria yang membuatnya panik laksana debar jantung yang berpacu tidak semestinya.
"Senang bertemu juga, Praja."
Fakta bahwa mereka memang seumuran, seharusnya cukup untuk membuatnya tenang memanggil Praja tanpa embel-embel 'Pak' atau 'Kang' yang mengarah ke penghormatan. Tetapi entah, rasanya seperti tidak pantas saja, Senara merasa sedikit sungkan untuk memanggil Praja secara lugas.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMESTA ADIWARNA; Jika Mimpi Menolak Dusta
Romance1943. Manakala Bumi Putera menjadi saksi dua insan yang saling memadu kasih. Sebagai seorang seniman, tak ada hal yang bisa lebih baik bagi Senara selain berlayar di samudra kanvas bersama bahtera kuas dan pancarona. Setidaknya, sebelum ia berjumpa...