vii. Seni Mengikhlaskan

44 4 0
                                    

Waktu adalah detik, menit, jam, hari, pekan, bulan, tahun, dan seterusnya. Berjalannya tak menunggu siapapun, dan tanpa kehendak apapun. Ia berputar tanpa mengajak apa-apa, dunia harus mengejarnya agar tak sirna. Waktu adalah segala hal yang berharga, meski tak pernah terlihat atau terdengar. Dengan waktu, semua hal bisa berubah tanpa kendali.

Dua hari sudah berlalu.

Dan Senara masih menunggu, sejak kepergiannya di tengah malam lalu, Praja bak hilang ditelan bumi, segala ucapannya kini tiada arti, dirinya ditinggalkan sendiri di sudut yang sunyi. Muak rasanya menunggu yang tak pasti.

Pergantian rembulan dan surya yang telah ia lewati terasa seperti dekade-dekade mematikan. Resah yang tak kunjung hilang membuatnya bahkan enggan hidup. Lukisan ataupun tulisan milik Praja tak ada apa-apanya untuk mampu membuatnya berpikir lurus. Dalam angannya, saat ini seharusnya keduanya sudah kembali bersama.

Kemarin hari ia berjumpa dengan Wijaya, yang berkunjung ke rumah sembari membawakan sebungkus kari ayam untuk dimakan bersama. Tak pernah Senara kira bahwa ia telah berada di titik kecewa begitu sahabatnya datang. Setiap suara pintu dibuka terdengar, ia selalu berharap bahwa itu Praja, yang tiba dengan senyum teduh terpatri seperti biasa.

"Apakah belum ada kabar?" 

Pertanyaan itu retoris, "Jika kamu melihatku, apakah masih perlu menanyakan hal demikian?"

Meja makan tampak begitu lenggang, hanya ada dirinya dan Wijaya di sana, tak ada kesenangan ataupun kebahagiaan yang seharusnya menemani suasana. Pandangan Senara jauh ke depan dan bahkan tak ada sedikitpun atensi tersisa untuk sahabatnya, yang datang untuk sekedar membawanya keluar sejenak dari lubang sengsara yang ia gali sendiri.

Kemarin sejak Praja pergi, segala hal tampak berbeda baginya. Makanan yang seharusnya ia nikmati rasanya lewat indra pengecap, beralih menjadi kebutuhan sekedar agar ia tak mati kelaparan. Sore hari, dirinya mendatangi tempat penjual lontong sayur yang hari lalu menjadi awal dirinya mengenal Praja lebih jauh.

Gendhis dan Haven tampak riang menyambut kedatangannya, hanya ada tiga orang yang kali ini ia temui, dan Praja tidak masuk di antaranya. Juna tampak terlalu tenggelam bersama pena yang ia ajak berlayar mengitari kertas polos, mengisi segala kehampaan dengan deretan abjad. Pastinya, jika kedatangan seseorang yang masih asing, si pemilik tempat akan langsung menanyai maksud kedatangan tamunya, bukan?

"Aku ingin mencari Praja, apakah dia ada di sini?"

Kedua wanita di depannya saling memandang heran, "Bukankah lebih pantas jika kami yang bertanya kepadamu? Terakhir kali kami bertemu Praja adalah saat dia membawamu kemari."

"Ia tidak akan kemari beberapa waktu," satu-satunya pria di antara mereka angkat suara, mendongak dan menatap ketiga lawan bicaranya dengan mata yang berkantung tebal, "Ia akan kemari jika sudah menuntaskan masalahnya, kamu," pena yang digunakan sebagai alat menulis itu ditudingkan ke arah Senara, "Tunggu dan bersabarlah. Praja tak pernah mengingkari janjinya."

Memang tidak, tetapi bukankah prasangka Senara pantas?

Dirinya hanya terlalu takut berakhir dicampakkan.

"Ada apa sebenarnya?" Haven bertanya penuh penasaran, gurat di wajahnya yang biasanya selalu riang kini redup setelah mendengar ucapan Juna, "Apakah kamu dan Praja bertengkar? Apakah kalian berdua sedang renggang?"

Senara tersenyum paksa memandang Haven, tampaknya di sini hanya Juna yang memahami situasi keduanya. Tidak salah juga, Praja memperkenalkannya sebagai teman sejak kecil.

"Tidak apa-apa, hanya masalah kecil. Kalau begitu, aku pergi dahulu."

Masih tak ada jawaban.

Senara masih belum menemukan apa yang ia inginkan, tak ada satu hal yang bahkan terpenuhi. Langkah kakinya terasa amat berat untuk pulang ke rumah, mengingat perjalanannya kemari tiada arti.

SEMESTA ADIWARNA; Jika Mimpi Menolak DustaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang