20. Villa Tristan

23 0 0
                                    

Malamnya, Luan dan Lintang duduk di depan tenda kemping sambil menghangatkan tubuh di depan api unggun. Mereka juga menikmati ikan bakar, daging panggang yang sudah di masak tadi. Luan yang sedang menatap bulan di atas langit, namun ia menghela napasnya dengan kasar.  Lintang yang mendengar helaan napas milik pria di sebelahnya pun langsung menoleh ke arah Luan yang sedang menunduk.

"Kenapa lagi?" tanya Lintang.
"Lintang, lo suka bintang dan bulan gak?". Bukan menjawab pertanyaan dari Lintang justru pria itu balik bertanya kepada wanita yang duduk di sebelahnya.
"Kenapa emangnya?"
"Dulu gua suka memandangi bulan bareng kakak gua," ucap Luan akhirnya. "Kita berdua suka banget namanya bulan karena bulan terikat dengan nama gua dan kakak gua," jelas Luan.
"Lalu?" tanya Lintang.
"Gua kangen mereka tapi juga benci mereka."
"Kalo belum bisa menerima mereka ya sudah jangan terlalu memaksakan diri," ucap Lintang.
"Fighting!! Go Go Fighting Luan!" serunya lagi bersemangat.

Luan yang mendengar suara semangat dari gadis itu hanya tersenyum tipis.

"Lintang, Lo suka bulan atau bintang gak? Lo belum jawab pertanyaan dari gua tadi," ucap pria itu. " Kalo lo suka gua mau ngajak lo ke Planetarium nanti waktu kita di Jakarta," jelas cowok itu.
"Gua benci benda langit malam, gua gak suka pergi ke Planetarium. Jangan ngajak gua ke sana!" seru Lintang yang sudah menampilkan muka seduhnya.
"Kenapa?"
"Bukan apa-apa!" jawabnya.
"Lo marah? Maaf," tanya pria itu dengan lembut dan menampilkan muka bersalahnya.
"Gua gak marah tapi tolong jangan bahas tentang Planetarium lagi. Gua benci tempat itu karena setiap gua dengar tempat itu membuat gua kembali mengingat hal buruk itu," jelas Lintang menatap ke arah depan dengan wajah seduhnya.

Gantian Luan yang menatap gadis itu penuh kesedihan dan juga penyesalan karena sudah membicarakan tempat yang dibenci oleh gadis itu. Pria itu berpikir bahwa itu ada kaitan dengan kematian kedua orang tua Lintang, dia diam sejenak kemudian dengan penuh kehati-hatian dia bertanya kepada gadis itu.

"Apa itu berkaitan dengan kecelakaan orang tua lo?"

Lintang tertegun cepat saat mendengar ucapan dari pria di sebelahnya itu. Dia pun hanya bisa menatap wajah dari pria itu tanpa memberi jawaban dari pertanyaan itu, Luan pun tersadar dari tatapan yang diberikan oleh gadis yang duduk disampingnya itu langsung meminta maaf dan merasa bersalah.

"Sepertinya benar, maaf Lintang!" seru Luan.
"Lo punya gitar gak?" tanya Luan kemudian untuk mengubah topik pembicaraan itu.
"Lo mau ngapain?" tanya Lintang sambil mengernyitkan matanya.
"Jualan ikan," jawab Luan ketus.
"Mau ngapain lo jualan ikan? Bisnis keluarga lo dan bisnis real estate property punya lo bangkrut?" sahut wanita itu dengan tatapan penuh tanyanya.
"Ish, amit-amit jangan sampai. Bukan gitu maksud gua Lintang," jawab Luan sambil cemberut.

Lintang yang melihat bibir monyong milik pria itu tidak bisa menahan senyumnya lalu ia tertawa keras.

"Ada, tunggu di sini! Gua ambil dulu. Jangan ngambek!" sahut Lintang masih dengan gelak tawa kecil lalu ia pergi ke tempat dimana ia menaruh gitar itu.

Tidak membutuhkan waktu yang lama, gadis itu menenteng tas berisi gitar yang memang sengaja ada di villa sebagai salah satu penghibur dirinya dan kakeknya saat di villa karena Tristan Brawijaya mahir dalam bermain alat musik.

"Nih," ujar Lintang sembari mengulurkan tas berisi gitar ke Luan.
"Thanks," balas Luan sambil menerima tas itu. "Mau dinyanyiin lagu apa nih? Biar lo gak marah lagi!" seru Luan.
"Bukannya lo yang ngambek!"
"Gak ya? Lo tuh yang ngambek!"

Suara mereka yang sedang saling menuduh satu sama lain itu terdengar dari dalam villa tempat dimana Tristan berada lalu ia menuju ke halaman belakang villa pribadi itu.

"Kalian apa-apaan sih? Berisik sekali," teriak Tristan.
"Maaf om," jawab Luan.
"Kalian seperti bocah saja," ucap Tristan lagi.

EFEMERAL: Sinar Bulan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang