15. Perhatian

51 1 1
                                    

Hari itu, Luan terpaksa kembali ke rumahnya. Dia tidak pergi ke kantornya dan gagal sarapan bersama dengan Lintang dan Aurora. Lintang yang mengantarkannya sampai rumah dengan menggunakan mobil milik Luan. Marino yang melihat putranya terluka dan diantar pulang oleh Lintang dan Aurora menyambut kedatangan mereka sembari menampilkan wajah kekhawatirannya.

"Ada apa? Kenapa matamu?" tanya Marino menatap putranya khawatir.
"Pakde Marino tenang dulu! Aku bisa menjelaskannya," jawab Aurora.
"Ayah, tenangkan diri dulu. Aku tidak apa-apa kok," ucap Luan sambil tersenyum. "Jangan khawatir!" serunya lagi.
"Gimana ayah tidak khawatir dengan keadaanmu? Coba ceritakan apa yang terjadi?" tanya Marino lagi masih menampilkan muka cemasnya.
"Maafkan aku om, ini semua karena kesalahanku," ucap Lintang menunduk kepalanya.

Marino mengerutkan keningnya, dia tidak paham dengan ucapan dari gadis itu hanya menatapnya dengan tatapan kebingungan.

"Maksud kamu?" tanya Marino.
"Kenapa lo bilang begitu sih? Ini bukan salah lo kok!" sahut Luan tidak suka sembari menatap sinis Lintang.
"Aurora, kamu tahu apa yang terjadi kan? Coba ceritakan kepada pakde!" ucap Marino sambil menatap ponakannya itu.

Aurora pun bercerita tentang kejadian di rumah sakit. Marino yang sudah tahu kejadian itu pun langsung menuju putranya lalu memeriksa kondisi Luan lebih intens.

"Matamu tidak apa-apa kan? Pelipismu tidak terlalu parah kan?" tanya Marino sembari mendekati putranya.
"Mataku mengalami peradangan yah sedangkan pelipis di atas mata kanan hanya luka kecil saja, jangan khawatir!" seru Luan tersenyum manis.
"Syukurlah kalau begitu," ucap Marino menghela nafas lega.
"Maafkan aku Om Marino, aku benar-benar minta maaf. Tolong maafkan aku!" ujar Lintang merasa bersalah.
"Minta maaf? Kalo kamu mau dimaafkan oleh om tolong rawatlah Luan sampai dia sembuh. Sebagai tanda kamu bersungguh-sungguh minta maaf, gimana?" balas Marino menatap tajam ke arah Lintang.

Gadis itu terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Marino tadi. Sepertinya Marino marah karena putranya terluka karena masalahnya dengan mantan kekasihnya dulu.

"Baik om, aku setuju!" seru Lintang sambil menunduk.

Luan yang mendengar perkataan dari ayahnya dan gadis di sampingnya itu langsung menolak rencana ayahnya itu.

"Aku tidak setuju, Lintang tidak usah merawatku. Ini murni bukan kesalahannya ayah!" seru Luan membela gadis itu.
"Tapi yang memukulmu kan mantan pacarnya? Jadi, ini kesalahannya juga," ucap Marino tegas. "Turuti saja perintah dari ayah! Lagipula Lintang tidak keberatan akan hal itu, iya kan?" ucap Marino sambil melirik ke arah Lintang.
"Iya, aku tidak keberatan dengan hal itu Om Marino," jawab Lintang.

Aurora juga kaget dan bingung dengan sikap pakdenya hanya menatap dengan penuh arti. Pasalnya pakdenya itu tidak pernah begitu kepada siapapun. Sikapnya itu pemaaf dan tidak semena-mena namun sekarang berbeda.

"Di mulai dari sekarang! Lintang dirimu harus menginap di rumah ini selama proses penyembuhan Luan," ucap Marino memberikan perintah.
"Kenapa begitu?" tanya Luan tidak terima. "Ayah kenapa sih?" ucap Luan lagi bernada frustasi.
"Diam Luan, biar ini menjadi urusan ayah!" sahut Marino bernada tinggi.

Marino pergi dari ruang tamu, ia ingin menelepon Tristan untuk meminta izin dan memberitahu kepada sahabatnya itu bahwa cucunya berada di rumahnya selama Luan sakit.

"Tristan tadi sudah menyetujuinya, Lintang kamu tidur di kamar Luan!" seru Marino setelah kembali ke ruang tamu.
"APA?" Teriak ketiga anak muda di sana.
"Ayah, aku tidak mau!" tolak Luan tegas.

Apa-apaan coba? Ayahnya ini sudah gila. Masa Lintang disuruh tidur di kamarnya! Yang benar saja!

"Iya-iya ayah cuma bercanda! Lintang kamu bisa tidur di kamar tamu sebelah kamar Luan," ujarnya sembari tertawa. Marino tertawa keras karena melihat ketiga orang itu yang sudah berekspresi menganga lebar.

EFEMERAL: Sinar Bulan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang